Kabar Damai | Minggu, 29 Mei 2022
Pontianak I Kabardamai.id I Demokrasi di Indonesia beberapa tahun terakhir ini dihadapkan pada berbagai tantangan. Sikap tak demokratis, perbedaan yang masih kerap memicu bahkan dijadikan pemicu terjadinya gesekan sosial, bahkan konflik.
Seperti kasus gesekan/konflik pada pilkada dan pemilu serentak tahun 2019, terjadinya sejumlah kekerasan komunal di sejumlah wilayah, maraknya hoaks di media sosial, kebebasan berpendapat dll, dapat menjadi cermin sejauh mana keberhasilan demokrasi di Indonesia sejak 1998.
Kondisi ini tentu memprihatinkan, karena gesekan membuat masyarakat terbelah. Masyarakat yang tadinya diharapkan menjadi agen pendorong kultur demokrasi, penggerak demokrasi sosial malah sebaliknya. Para ahli berpendapat bahwa keberhasilan demokrasi adalah sejauh mana kebijakan dan praktek politik yang ada mampu menyumbang pada terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat di Indonesia, pertanyaannya apakah situasi tersebut sudah tercipta?
Karena itulah pada 27 Mei 2022 Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) bekerja sama dengan Rumah Diskusi mengadakan diskusi publik sekaligus refleksi 24 tahun reformasi di Indonesia dengan tujuan merefleksikan 24 tahun reformasi dan mengkaji situasi politik saat ini di Indonesia khusunya dalam konteks Kalimantan Barat.
Diskusi ini dihadiri oleh dua aktivis 98 yaitu Faisal Rizal yang saat ini menjabat sebagai Komisioner bawaslu Kalbar juga Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan. Serta Syf Ema Rahmaniah Akademisi Universitas Tanjungpura Pontianak yang aktif membicarakan isu-isu politik di Kalbar.
Faisal Riza mengatakan, saat ini demokrasi di Indonesia dihadapkanan dengan berbagai masalah. Satu di antaranya adalah industrialisasi hukum. Misalnya UU Cipta Kerja yang digunakan untuk melancarkan investasi. Semangat demokrasi digunakan untuk melancarkan kekuasaan oligarki.
Baca Juga: Forum Diskusi Urgensi Ranperda Jadi Perda; Wujudkan Pontianak Kota Bersama
“Permasalahan lain, masyarakat dihadapkan dengan polarisasi masyarakat yang diakibatkan oleh kepentingan kekuasaan. Di mana pihak-pihak korban kekuasaan memiliki prinsip ‘Kalau tidak aku yang habis, kau yang habis.’”. Faisal Riza menilai hal ini berbeda dengan kultur debat yang pernah terjadi di masa lalu, contohnya ketika M. Natsir dan M. Yamin berdebat, di luar forum, mereka tetap akrab. Perdebatan yang ada tidak menyentuh urusan personal dan merusak pertemanan.
Menyambung hal tersebut, Andy Yentriyani menyatakan rasisme dan diskriminasi berbasis ras, etnis dan agama masih menjadi tantangan demokrasi tahun 2022. “Di banyak daerah yang merupakan bekas konflik, rasisme itu seperti gajah besar di ruangan, semua melihat tapi tak ada yang mau membicarakan.” Andy mengatakan hal ini karena pembahasan terkait konflik dianggap mengganggu ketertiban yang ada.
Kasus-kasus rasisme terjadi di banyak daerah. Beberapa kasus yang diceritakan adalah kasus pemaksaan jilbab pada siswi di sekolah negeri Padang, pemilihan ketua organisasi di kampus dan sekolah yang menyaratkan harus berasal dari agama tertentu dan orbituari calon presiden yang sengaja diterbitkan dalam Bahasa Mandarin oleh kelompok yang punya sentiment dengan Tionghoa.
Ema Rahmaniah, sebagai akademisi yang banyak berinteraksi dengan kehidupan mahasiswa merefleksikan adanya sistem yang memberangus demokrasi. Misalnya, pemerintah melalui perguruan tinggi membungkam mahasiswa dengan pemberian beasiswa, dan penerima beasiswa dilarang melakukan demonstrasi. Padahal menurut Ema, hal tersebut harusnya dijadikan sebagai keputusan dan kesadaran oleh mahasiswa terkait tanpa harus dilarang. Hal itulah yang mencerminkan demokrasi.
Para peserta diskusi dalam acara ini juga turut membagikan dan mempertanyakan demokrasi sebagai buah dari reformasi. Mereka menilai, buah dari reformasi belum mampu menghilangkan diskriminasi rasial, ketidakadilan, politik identitas, segregasi, keberpihakan hukum pada keperluan kesejahteraan masyarakat tanpa pandang bulu dan masalah lainnya.
Penulis: Rio Pratama