Diskriminasi Agama Baha’I Harus Dihentikan

Kabar Utama167 Views

Kabar Damai | Selasa, 03 Agustus 2021

Jakarta | kabardamai.id | Jaringan GusDurian mendukung langkah Kementerian Agama (Kemenag) yang membuat ucapan Hari Raya Naw Ruz kepada masyarakat Baha’i. Menurut GusDurian, langkah Kemenag mempublikasikan ucapan tersebut sudah tepat.

Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menyatakan pihaknya mengapresiasi dan mendukung langkah Kemenag mengenai ucapan selamat dalam perayaan hari besar berbagai agama yang ada di Indonesia.

“Hal ini merupakan bukti pengakuan pada realitas keberagaman yang ada di Indonesia dan langkah yang penting untuk memberi pengakuan pada semua agama kepercayaan di Indonesia,” kata Alissa dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 1 Agustus 2021.

Baca Juga: Agama Bahai, Keteladanan Menag Yaqut, dan Perlindungan Konstitusi

“Agama Baha’i merupakan agama yang lahir di Persia pada tahun 1844. Menurut catatan Kementerian Agama, agama ini mulai masuk di Indonesia pada tahun 1878. Saat ini jumlah pengikut Baha’i sekitar 5.000 orang. Pada tahun 1962 Presiden Soekarno sempat melarang Baha’isme dengan Keppres No. 264,” ungkap putri Gus Dur ini.

Alissa melanjutkan, pemerintah perlu mengambil langkah lanjut dengan memberikan perlindungan dan pengayoman kepada semua agama minoritas dan kepercayaan agar dapat mempraktekkan keyakinan mereka secara bebas dari rasa takut, intimidasi, dan diskriminasi, sesuai prinsip dari sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Secara hukum, tidak ada satu pun perundang-undangan di Indonesia yang secara eksplisit menyatakan adanya entitas agama-agama yang diakui maupun tidak diakui,” ujar Alissa.

Alissa mengatakan bahwa larangan terhadap agama Baha’i dicabut Gus Dur lewat Keppres No. 69 tahun 2000. Melalui Keppres tersebut Pemerintah Indonesia secara konstitusional mengakui keberadaan ajaran Baha’i sekaligus memperbolehkan penganutnya menjalankan kepercayaannya.

  1. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mempunyai perhatian yang sangat serius terhadap hak-hak berkeyakinan dan beragama, termasuk Baha’i. Pada bulan Maret 2000, saat itu masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Gus Dur hadir dalam pertemuan para penganut Baha’i di Jalan Menteng, Jakarta Pusat.

Salah Satu Warisan Gus Dur

Oleh karena itu, perlindungan terhadap agama Baha’i merupakan bagian dari salah satu warisan Gus Dur. Warisan ini harus dirawat.

“Pengakuan dan perlindungan terhadap semua kepercayaan dan agama ini merupakan salah satu warisan Gus Dur yang harus dirawat dan dikembangkan sebagai bagian dari upaya kita bersama untuk menciptakan masyarakat yang adil dan non-diskriminatif. Tidak hanya terhadap umat Baha’i, Presiden Gus Dur juga bertemu dengan tokoh-tokoh agama minoritas dan aliran lainnya,” tuturnya.

Ia juga meminta agar semua pihak tidak mempolitisasi pernyataan Yaqut. Menurut dia, pernyataan tersebut harus dipahami dan diletakkan dalam konteks untuk membangun pengakuan, perlindungan, dan pelayanan publik kepada berbagai semua warga Indonesia, tanpa membedakan kelompok agamanya.

Alissa juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus merawat semangat kebhinekaan dan menghentikan diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda, termasuk agama minoritas seperti Baha’i.

“Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus merawat semangat kebhinekaan dan berupaya menghentikan diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda, termasuk kelompok agama minoritas seperti Baha’i,” ujar Alissa.

“Keberagaman adalah keniscayaan yang seharusnya bisa menjadi kekuatan untuk membangun peradaban,” ujarnya menambahkan.

Wamenag: Menag Harus Beri Layanan ke Semua Warga

Terkait dengan ucapat selamat haro raya Naw Ruz kepada umat Baha’I, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi menjelaskan, bahwa apa yang dilakukan oleh Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas adalah bagian dari kewajiban konstitusional yang harus dilakukan.

“Saya melihat, apa yang beliau sampaikan merupakan bagian dari kewajiban konstitusional yang melekat sebagai pejabat negara yang mengharuskan memberikan pelayanan kepada semua warga negara, tanpa pengecualian,” jelas Wamenag, Jakarta, Sabtu, 31 Juli 2021.

Sehingga, Wamenag berharap, polemik terkait dengan agama Baha’i dihentikan karena dinilai sudah tidak proporsional.

Wamenag juga menjelaskan, bahwa Kementerian Agama terus mengembangkan dan menyosialisasikan penguatan moderasi beragama yang tujuannya tak lain untuk menghadirkan keharmonisan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Moderasi beragama tidak akan dapat tercipta tanpa pinsip adil dan berimbang,” terang Wamenag, dikutip dari kemenag.go.id

Menurut Wamenag, penguatan moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan.

“Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya,” tandasnya.

Diskriminasi pada Umat Bahai

Penganut Agama Baha’i sebetulnya sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun hingga saat ini, hak-hak sipil masih belum terpenuhi seperti di Pati, Jawa Tengah. Misalnya seperti hak mendapatkan akta perkawinan yang berpengaruh pada administrasi kependudukan lainnya.

Meski begitu mereka tetap legowo, mengingat di antara landasan iman Baha’i adalah menghilangkan segala bentuk prasangka dan kesetiaan kepada pemerintah.

Perlu diketahui, agama Baha’i adalah agama independen dan bukan sekte dari agama lain. Ciri utamanya adalah berpegang pada tiga pilar yakni, Tuhan YME, kesatuan sumber surgawi dari semua agama, dan kesatuan manusia.

Dikutip dari buku Agama Baha’i terbitan tahun 2015 oleh Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia. Bahwa agama Baha’i adalah agama yang berdiri sendiri di lebih 230 negara, juga sebagai agama kedua yang paling tersebar di dunia.

Seperti halnya setiap agama, agama Baha’i memiliki kitab sucinya sendiri yang bernama Al Aqdas.

Sementara rumah ibadahnya disebut Mashriqul Adhkar. Uniknya rumah ibadah ini, semua pemeluk agama boleh menggunakannya untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing.

Umat agama Baha’i juga diwajibkan untuk sembahyang secara individu, berdoa, dan berpuasa. Puasa ini biasanya dilakukan dalam periode tertentu dalam kalender Badi.

Selain itu, sistem kepemimpinan Baha’i tidak mengacu pada hierarki seperti agama kebanyakan.

Sehingga di agama ini tidak mengenal istilah; imam, pendeta, biksu, ustaz, dan sebagainya. Namun dipimpin oleh perwakilan di Balai Keadilan Sedunia. Perwakilan itu, ditentukan melalui pemilihan 5 tahun sekali oleh umat agama Baha’i di seluruh dunia.

Indonesia Pernah Jadi Pemeluk Baha’i Terbesar se-Asia

Melansir suarajawatengah.id, ada 1950-an disebut sebagai tahun emas agama Baha’i di Indonesia. Majelis-majelis Rohani didirikan hampir di semua wilayah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Rembang dan Pati.

“Umat Baha’i di Indonesia yang terbesar di Asia pada 1950-an. Sehingga sebelum tahun 1960, akan diadakan Konferensi Regional Asia (agama Baha’i) di Jakarta,” ungkap Sanusi.

Adanya konferensi itu pun menjadi magnet tersendiri bagi pemeluk agama Baha’i di seluruh dunia untuk datang ke Indonesia.

Nahasnya saat itu sentimen asing tengah membuncah, lantaran Presiden Sukarno menyerukan operasi Trikora dan Dwikora.

Lahirlah Keppres Nomor 264 Tahun 1962, tentang larangan adanya Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Live Society, Vrijmetselarean Loge, Moral Realmament, Acient Mystical Organization of Rosi Crucians, dan Organisasi Baha’i.

Untuk kemudian Keppres tersebut dicabut melalui Keppres Nomor 69 Tahun 2000. Saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat sebagai Presiden RI ke-4.

“Kadang banyak yang salah mengartikan, yang dilarang di sini adalah organisasinya bukan agamanya. Makanya tahun 1962 (agama Baha’i) masih berkembang,” ujar Sanusi.

Dilansir dari kajian Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaaan Kementerian Agama tahun 2014. Jumlah pemeluk Baha’i di Jakarta berjumlah 100 orang, Bandung sebanyak 50 orang, Palopo 80 orang, Medan 100 orang, Bekasi 11 orang, Surabaya 98 orang, Malang 30 orang, Banyuwangi 220 orang, dan Pati 22 orang.

Khusus untuk Pati pada tahun 2021 berdasarkan data suara.com di lapangan, tercatat hanya tinggal 19 pemeluk agama Baha’i.

Dari Stigma ke Penjara

Persoalan muncul pada tahun 1972, ketika salah satu institusi pemerintah di daerah mengeluarkan surat yang mengacu pada Keppres Nomor 264 Tahun 1962. Tidak sedikit umat agama Baha’i yang ditangkap dan dipenjara.

“Banyak umat agama Baha’i yang dipenjara, termasuk di Pati. Lalu yang PNS diancam dipecat dari jabatannya jika masih berkeyakinan agama Baha’i. Saya sendiri, tahun 1989-1999 harus keluar-masuk Kejaksaan karena persoalan ini,” tutur Sanusi.

Masalah tersebut tuntas, tatkala umat agama Baha’i Cebolek Kidul meminta bantuan Abdurrahman Wahid yang saat itu menjadi Ketua PBNU Pusat (Gus Dur belum menjabat sebagai presiden RI).

“Dikasih surat dari Gus Dur untuk disampaikan kepada Bupati Pati Sauji agar perkaranya dihentikan. Berpesan jangan dititipkan siapa-siapa karena pernah dititipkan, suratnya tidak sampai,” ungkap Mukmin Baha’i, Ibu Jamali.

Selain itu, keadilan dalam administrasi kependudukan pun belum dirasakan sepenuhnya oleh pemeluk agama Baha’i di kabupaten berjuluk Bumi Mina Tani. Perkawinan mereka hanya tercatat dalam surat keterangan nikah Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia.

Sementara Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Pati, belum mau mengeluarkan akta perkawinan selain enam agama resmi dan pemeluk aliran kepercayaan.

Lantaran belum dikeluarkannya akta perkawinan tersebut, berpengaruh pada data akta kelahiran, Kartu Keluarga (KK), dan KTP.

Bendahara Majelis Rohani Setempat (MRS) Agama Baha’i Cebolek Kidul, Sulistiyani mengatakan, dalam akta kelahiran misalnya, di situ hanya tertulis nama sang ibu tanpa nama ayah. Padahal lumrahnya akta seperti itu, diberikan kepada anak di luar nikah.

“Hak sipil kami banyak yang belum terpenuhi. Meski begitu tidak membebani kami sebagai umat agama Baha’i karena kami diajarkan untuk memberikan kesetiaan kepada pemerintah. Saya kira semua agama pada asal mulanya juga mengalami hal yang sama,” ujarnya.

Dikeluarkan dari Sekolah Karena

Uniknya di beberapa daerah di luar Jawa, imbuh Sulistiyani, akta perkawinan dan kelahiran dicatat oleh dinas setempat.

“Di Jawa sendiri malah yang masih kesulitan. Di Tenggarong (Kalimantan Timur), Timika, dan daerah lain boleh atas nama ayah dan ibu akte kelahiran padahal beragama Baha’i,” ungkap Sulistiyani.

Anak-anak yang beragama Baha’i di Pati pun tidak luput dari kemalangan. Bahkan, ada siswa yang dikeluarkan dari sekolah negeri karena keyakinanannya berbeda dengan enam agama yang “diakui”.

Ada pula siswa beragama Baha’i yang tidak diperbolehkan untuk mendapatkan pendidikan agama oleh Kemenag Pati melalui surat Nomor Kd.11.18/2/BA.00/1303/2012. Dalihnya, di Indonesia tidak ada agama yang bernama agama Baha’i.

Padahal dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 2 disebutkan, bahwa anak didik diberikan pelajaran agama sesuai dengan agama yang dipeluknya.

Kesulitan demi kesulitan terus mendera umat agama Baha’i di Cebolek Kidul, bahkan saat seorang umat meninggal dunia pada tahun 2010, jenazahnya harus merana.

Pasalnya sejumlah warga dan pemerintah desa menolak, jika almarhum dikebumikan di pemakaman umum setempat. Begitupun saat hendak dimakamkan di tanah pribadi (ladang/kebun).

Alternatif terakhir, pihak desa mengizinkan pemakaman di tanah desa yang berada di area pertambakan. Hanya saja, lokasi makam ini sangat jauh dari permukiman dan susah diakses. Tercatat sudah ada 6 penganut agama Baha’i yang dimakamkan di sana. [ ]

 

Editor: Ahmad Nurcholish

Diolah dari berbagai sumber

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *