Kabar Damai | Kamis, 7 April 2022
Jakarta | kabardamai.id | Tahun 2020, Pew Research Center melakukan survei di 34 negara terkait tingkat religiusitas Negara-negara di dunia. Dari survei bertajuk “The Global God Divide” itu, Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara paling religius dengan angka 96 persen. Indonesia diikuti oleh Nigeria, dan negara-negara dunia ketiga.
Meski sepatutnya bersyukur atas fakta tersebut, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafiq Mughni menilai ada yang perlu dipikirkan lebih mendalam. Sebab negara-negara yang memiliki angka religiusitas rendah justru adalah negara maju dengan indeks korupsi paling rendah menurut data Transparansi Internasional tahun 2021.
“Sekarang kalau kita melihat negara-negara Eropa, Belanda itu cuma 39 persen. Tetapi ternyata Belanda itu menduduki no 8 sebagai negara terbersih dari korupsi. Ini menumbuhkan pertanyaan apakah ada korelasi antara tingkat religiusitas dengan kebersihan tindak korupsi itu?” kata Syafiq, seperti dikutip muhammadiyah.or.id (6/4).
“Jangan-jangan nanti ada hipotesis (orang tidak bertanggung jawab) bahwa tidak religius sebuah bangsa, maka bangsa itu semakin bersih dari korupsi,” imbuhnya.
Dilansir dari laman PP Muhammadiyah, dalam Pengajian Ramadan 1443 H Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Selasa petang (5/4) Syafiq menilai ada yang luput dari korelasi bertentangan dua survei di atas. Survei tentang angka religiusitas hanya memuat pertanyaan seputar spiritualitas pribadi atau makna agama bagi diri masing-masing orang.
Baca Juga: Peserta SAKTI Pontianak Ingatkan Pentingnya Generasi Muda Peduli Isu Antikorupsi
“Ini menunjukkan indeks pertanyaan tidak memasukkan akhlak, hanya spiritual saja. Tetapi sisi moral tidak masuk dalam indeks,” terangnya.
Syafiq juga menilai survei tersebut setidaknya juga bermanfaat karena memuat fakta tersirat bahwa bangsa Indonesia hanya memperhatikan aspek religiusitas di tataran peribadatan, namun belum sepenuhnya disertai dengan pengamalan aspek moralitas (akhlak) yang sejatinya adalah inti dari keberagamaan.
“Indeks ini dibuat sebagian, tapi yang lain juga membuat indeks berbeda, tapi ini adalah faktor-faktor yang bisa kita jadikan apakah kita religius atau tidak,” tandasnya.
Tak Sebangun dengan Realitas Sosial Masyarakat Islam
Sementara itu, menjelaskan tentang Religiusitas yang mencerahkan dalam ajaran Islam perspektif normativitas dan historisitas, Prof, Amin Abdullah menyebut dalam relasi sosial keagamaan antara normativitas atau ideal dengan historisitas atau realitas seringkali tidak sebangun.
Dalam sosial hubungan masyarakat Islam, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini mengutip QS. Al Hujurat ayat 11-13, bahwa dalam ajaran normatif Agama Islam terdapat anjuran untuk saling mengenal, tidak boleh melecehkan agama orang lain, termasuk tidak boleh mencari keburukan di masyarakat multikultural. Tetapi dalam historisitas atau realitasnya, yang muncul dalam praktek lapangan seringkali ditemukan sikap maupun tindakan yang karahiyatul al-ghair atau sikap tidak suka terhadap orang atau kelompok yang berbeda.
Menurutnya, hal ini semakin menjadi-jadi tatkala masyarakat beragama hidup di era disrupsi.
“Jadi idealnya memang bagus sekali, ajaran-ajaran tadi itu bagus tetapi historisitasnya semacam itu,” ucap Prof. Amin Abdullah pada, Selasa (5/4) di acara Pengajian Ramadan 1443 H Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang dilangsungkan secara hybrid di Kantor PP Muhammadiyah, di Yogyakarta, seperti dikutip muhammadiyah.or.id (6/4).
Keragaman melimpah yang dimiliki oleh milyaran manusia sekarang, kata Prof. Amin, tidak bisa diwakili oleh hanya satu agama, madzhab, maupun organisasi. Lebih rinci, dia menyebut lima keragaman tersebut antara lain ragam SARA, kelas sosial, aset ekonomi-politik yang dikuasai atau tidak dikuasai, peluang akses aset ekopol, dan kondisi kesehatan atau biologis.
Menghadapi keragaman di masyarakat yang multikultural, seharusnya umat Islam tidak perlu risau sebab perbedaan merupakan sunnatullah sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Yunus ayat 99, Ali Imran ayat 159, dan al Ahzab ayat 92.
Menurutnya jika umat Islam mendalami ayat-ayat tersebut akan memberikan kenyamanan dalam keragaman.
“Supaya keberagamaan mencerahkan memang harus tidak boleh bersikap keras terhadap orang lain yang berbeda,” ungkapnya menjelaskan Ali Imran ayat 159.
Menurutnya, kunci menghadapi keragaman adalah dengan memahami realitas, menghormati realitas, keterlibatan dalam realitas, mengelola menjadi kekuatan, saling ketergantungan, dan kerjasama dalam relasi sosial.
Oleh karena itu diperlukan jalan baru literasi keagamaan, yaitu fresh ijtihad dan menyempurnakan metode dan pendekatan dalam pembelajaran Agama Islam. Bagi warga Muhammadiyah, dalam memahami literasi keagamaan menurutnya harus sebagaimana yang dilakukan Majelis Tarjih, yakni dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. (muhammadiyah.or.id)
Penyunting: A. Nurcholish