Di Beranda Istana Alhambra (5 – Grup Diskusi)

Opini86 Views

Oleh: Muhammad Najib

Di kalangan dosen-dosen muda jurusan Ilmu Politik, kami memiliki group diskusi mingguan. Kami memilih tempat di kantin. Tiap orang bisa memesan minuman sendiri dan bayar masing-masing. Sekali-sekali kalau ada yang ulang tahun, atau ada yang mendapat rezeki lebih, seperti honor dari hasil menulis di sebuah media atau diundang di sebuah forum ilmiah, boleh neraktir anggota group. Diskusi memilih tema-tema seputar situasi politik aktual, baik terkait isu yang berkembang di tingkat nasional, regional, maupun global.

Semula diskusi hanya diikuti oleh dosen muda dari bidang studi yang sama, lama-kelamaan banyak dosen muda bidang studi lain juga ikut serta. Tidak jarang mahasiswa dari berbagai bidang studi juga ikut nimbrung. Kami senang dengan partisipasi mereka semua, karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan lebih bervariasi sehingga memperkaya cakrawala kami, khususnya perhatian dosen-dosen muda yang berasal dari bidang studi Islam, ekonomi, sains dan teknologi.

Karena diskusi berkembang semakin serius, maka setiap kali akan diskusi kami mengumumkan tema yang akan didiskusikan melalui berbagai media sosial yang ada. Tema diskusi seminggu berikutnya disepakati setiap kali kami menyelesaikan diskusi, melalui usulan anggota sesuai situasi aktual yang berkembang. Dalam pengambilan keputusan terkait tema, biasanya dilakukan dengan aklamasi dan tidak ada pembahasan yang bertele-tele.

Pada jadwal diskusi terakhir sebelum aku berangkat, aku didaulat teman-teman untuk menyampaikan rencanaku kedepan sebagai pengganti diskusi reguler. Aku manfaatkan kesempatan ini untuk sekaligus pamitan, dan membuat semacam farewell party sederhana. Aku memulai dengan janji bahwa aku akan selalu berbagi pengalaman dan gagasan dengan anggota group, walau secara fisik tidak lagi dekat. Toh ini era virtual dimana sarana komunikasi mudah dan murah, begitu dasar pemikirannya. Aku juga berpesan agar diskusi mingguan tetap dilanjutkan, meski aku sebagai salah seorang motornya secara fisik tidak dekat lagi.

Dalam kesempatan ini aku menyampaikan 2 agenda setelah aku mendarat di Spanyol nanti, yaitu: Interfaith dialogue dan membentuk organisasi Diaspora Muslim Indonesia disingkat DMI. Interfaith dialogue bisa digunakan sebagai sarana berbagi pengalaman dalam beragama dengan kelompok-kelompok agama yang berbeda di berbagai kampus di Spanyol. Dan secara tidak langsung kegiatan ini diharapkan akan meredam Islamophobia. Aku meyakini wajah Islam Indonesia yang ramah, moderat, toleran, dan Rahmatan Lilalamin akan bisa diterima oleh masyarakat di Spanyol khususnya dan masyarakat Barat pada umumnya.

Sedangkan DMI dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan berbagai komunitas Muslim yang berada di Spanyol, kawasan Uni Eropa, dan di berbagai negara yang berada di kawasan Asia, Afrika, Amerika, dan Australia. Harapanku komunikasi dan diskusi diantara anggotanya dapat melindungi mereka dari berbagai faham keagamaan yang dapat menimbulkan masalah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara secara langsung maupun tak langsung. Cara ini juga diharapkan dapat membendung gerakkan ekstrimisme yang berkembang dihampir semua kelompok agama yang diakibatkan dengan berkembangnya media sosial setelah ditemukannya internet. Diharapkan kelompok-kelompok moderat yang mayoritas di semua komunitas agama dapat bergandeng tangan.

Dengan nada keberaatan seorang dosen muda dari bidang studi Syariah menyatakan: “Bukankah bicara tentang Interfaith Dialgue akan menguntungkan minoritas!”.
“Logika untung-rugi terlalu politis, cara berpikir seperti ini memang lazim digunakan oleh para politisi terkait dengan kekuasaan. Kita di perguruan tinggi sebaiknya menggunakan logika ilmiah dan logika agama. Bukankah Rasulullah saat menjadi Kepala Negara di Negara Madinah sangat melindungi kelompok Nasrani, Yahudi, dan kelompok pagan!”, komentarku.

“Saya khawatir dengan kegiatan Interfaith Dialogue akan membuat kita terperangkap ke dalam pemikiran bahwa semua agama itu sama”, kata seorang mahasiswa dari jurusan Ushuluddin.

“Kekhawatiran seperti itu dapat dipahami, karena memang ada juga cendekiawan yang berpandangan seperti itu. Akan tetapi bagi saya Interfaith Dialogue tidak lain dari sebuah upaya kelompok-kelompok penganut agama yang berbeda untuk saling memahami satu sama lain. Dengan kata lain, agar kita lebih dewasa dalam mengamalkan agama masing-masing tanpa saling mengganggu. Dengan demikian akan tercipta kerukunan di masyarakat, khususnya yang anggota masyarakatnya plural. Di masyarakat yang homogen tentu tidak diperlukan Interfaith Dialogue!”, kataku menjelaskan sikapku.

“Menurut saya toleransi intra ummat Islam sendiri jauh lebih penting dibanding toleransi antara ummat beragama yang berbeda. Kita seringkali toleran terhadap ummat dari agama yang berbeda, tetapi tidak toleran terhadap sesama ummat Islam !”, komentar seorang dosen muda dari fakultas teknik.

“Bagiku toleransi diantara ummat Islam sendiri sudah selesai. Jika realitasnya ternyata tidak, maka apa salahnya jika kita lakukan secara paralel, tanpa mendahulukan atau mengabaikan salah satunya !”, komentarku dengan nada mengapresiasi.

“Apakah rencana mendirikan DMI tidak terlalu ambisius.?”, tanya dosen muda lain dari jurusan ekonomi dengan wajah ragu.
“Cita-cita harus digantungkan setinggi langit, begitulah pesan Bung Karno !”, jawabku coba meyakinkannya.

“Banyak hal yang aku capai selama ini dimulai dari mimpi. Mimpi kuliah, mimpi jadi dosen di kota, dan kuliah di luar negri, semua itu tadinya hanya mimpi bagiku. Bahkan ketika aku masih SMP tidak sedikit teman-teman yang mencibirku. Kemudian mengolok-olok dan memberikan julukan ‘Sang Pemimpi. Toh kini semua jadi kenyataan !”, aku coba meyakinkannya sembari memberikan sedikit cerita pengalaman pribadiku.

Sebenarnya argumen-argumen yang aku bangun bukan saja dimaksudkan untuk menjawab si penanya, tetapi aku gunakan saat menjawabnya untuk meyakinkan seluruh anggota group diskusi. Bagiku dukungan mereka sangat menentukan sukses tidaknya dua rencanaku. Pada saat bersamaan aku berpikir bagaimana dua program ini dapat digunakan sebagai sarana untuk mengenalkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang moderat, toleran, wasatiah, dan rahmatan lilalamin di pentas global. Kerjasama antara kampusku dengan sejumlah perguruan tinggi di Spanyol menjadi bagian dari obsesiku.

Aku sebenarnya sangat risau oleh sejumlah ulama muda yang baru kembali dari belajar di Timur Tengah. Retorika dan kemampuannya mengutip ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits memang sangat meyakinkan. Akan tetapi substansinya seringkali mengabaikan perjalanan sejarah bangsa, realitas sosial dan budaya yang kita miliki. Implikasi sosial politiknya tidak terlalu serius bila tema-tema yang dibahas seputar ubudiyah dan ibadah mahdah. Akan tetapi bila memasuki tema politik, negara, dan kekuasaan, maka bisa panjang ceritanya pikirku.

Mereka sebetulnya juga banyak membahas tentang dimensi Islam yang rahmatan lilalamin, akan tetapi berhenti pada kata dan kalimat saat ceramah atau menulis di media sosial, tidak dilanjutkan dalam bentuk aksi nyata. Logikanya juga sering melompat-lompat, seperti seorang pedagang yang jujur akan langsung menimbulkan kemakmuran, padahal masalah ini memerlukan dukungan pengetahuan bahkan keterampilan tentang ekonomi dan bisnis. Atau pemimpin yang adil akan langsung melahirkan kedamaian dan kejayaan, padahal perlu dukungan ilmu sosial atau wawasan budaya dan tradisi setempat untuk bisa menjadi kenyataan. Apalagi kalau dikaitkan dengan kebijakan negara, tentu lebih njelimet lagi, karena terkait dengan kekuasaan dan kepentingan banyak pihak.

Sebagai dosen di perguruan tinggi yang bernaung di bawah Persyarikatan Muhammadiyah, aku sering memperhatikan dan merenungkan bahwa gerakkan Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 ini, sebetulnya telah mencapai prestasi besar dalam membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata, jauh melampaui berbagai organisasi Islam yang berasal dari negara-negara lain yang sering dirujuk dengan nada bangga oleh para ustad muda lulusan Timur Tengah.

Tidak ada organisasi Islam di dunia yang memiliki Amal Usaha pendidikan mulai Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi sebanyak Muhammadiyah. Juga rumah sakit dan berbagai klinik yang tersebar di semua wilayah Indonesia, baik di kota besar, kota kecil, sampai di desa-desa terpencil, termasuk di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya Non Muslim, seperti di Bali, NTT, dan Papua. Bagiku Muhammadiyah telah berbicara dengan bahasa perbuatan dan kegiatan nyata, tidak berhenti pada kata-kata dan retorika dalam mengamalkan Islam Rahmatan Lilalamin.

Reputasi Muhammadiyah semakin mencengangkan jika ditambah dengan panti asuhan, panti jompo, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) yang memiliki perhatian pada korban bencana alam yang sering melanda berbagai daerah. Aku fikir sudah saatnya kita mengajarkan ummat Islam di negara lain, sudah saatnya Muhammadiyah go internasional. Akan tetapi semua ini aku pendam dalam hati, dan biarlah ia menjadi keyakinan ku pribadi. Nanti tiba saatnya tiba akan aku buktikan bahwa mimpi-mimpiku bukan mimpi kosong.

(Bersambung)

Sebuah novel oleh Muhammad Najib, Duta Besar Kerajaan Spanyol dan Pendiri ICRP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *