Bom Bunuh Diri di Katedral Makassar 2021

Opini142 Views

Kabar Damai | Rabu, 31 Maret 2021

 

Oleh Ridwan al-Makassary

 

Kota Makassar berduka. Minggu, 28 Maret 2021, pukul 10.30 WITA, bom bunuh diri (suicide bombers) telah mengguncang gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Peristiwa tragik tersebut terjadi pada perayaan Minggu Palma yang kudus, dalam tradisi Katolik, sebagai satu rangkaian Pekan Suci menunju Paskah pada 4 April 2021, dan pada saat Muslim bersiap menyambut malam Nisfu Sya’ban yang syahdu.

Bom bunuh diri dipilih sepasang suami istri, yang dikenali sebagai Lukman dan Yogi Safitri Fortuna, berdasarkan identifikasi dari Tim INafis Polrestabes Makassar dan Tim labfor Mabes Polri. Mereka berdua yang baru menikah enam bulan dan istrinya diduga sedang hamil muda adalah kaum muda “millenial”, yang mengendarai sepeda motor dengan nomor polisi DD 5984 MD dalam menuntaskan aksinya.

Data awal yang terkumpul menyebutkan bahwa pelaku acap hadir dalam pengajian di Villa Mutiara, Cluster Biru, Makassar dan terpapar doktrin jihad yang ekstrem. Hal yang menarik dikaji adalah pelaku bom bunuh diri mendasari tindakan “heroik”nya  dengan jihad, satu doktrin dalam Islam yang melahirkan beragama interpretasi. Jihad dalam Islam tidak monolitik, mulai dari jihad dalam pengertian menuntut ilmu hingga mengangkat senjata melawan penguasa kafir.

Selain karena sibuk merevisi riset di Centre for Muslim States and Societies University of Western Australia, saya menahan diri untuk merespon peristiwa tragik tersebut sambil melihat perkembangan. Paska kejadian di pagi hari itu, dan mendapati media sosial, facebook terutama sore harinya, telah dipenuhi beragam surat pernyataan sikap lembaga yang rerata mengutuk, pelbagai komentar dan analisis dari berbagai pihak, termasuk sebagian teman-teman saya yang mendalami isu radikalisme agama dan teroris. Tidak ketinggalan beberapa host zoom seminar berlomba untuk menampilkan webinar tentang kejadian di Makassar itu dengan menghadirkan berbagai pembicara. Hal yang absah saja di tengah tuntutan zaman yang membutuhkan informasi cepat dan berlomba menampilkan citra diri dan lembaga yang diusung untuk eksistensi.

Kota Makassar adalah sebuah kota yang istimewa, karena orang tua dan leluhur saya berasal dari kota Daeng. Masa remaja, dan cinta pertama saya, sebagai santri di salah satu pesantren di kota Makassar masih teringat di rerimbun ingatan. Bahkan, di ujung nama saya ada tambahan Al-Makassary, sehingga acap saya dikira cucu Syekh Yusuf Al-Makassary, yang terkenal itu. Karenanya, saya selalu merindukan kota ini, meskipun saya lebih banyak menghabiskan umur saya di Jawa, Papua dan beberapa negara manca.

Setahun yang lalu, pada fajar Maret 2020, dalam ancaman Covid-19, saya menjejak kaki di kota Makassar untuk mengkoordinir satu kegiatan “Pengarusutamaan Dialog Antar Agama untuk Perdamaian”, sebuah program yang dibiayai KAICIID Internasional yang berpusat di Austria. KFN Indonesia bekerjasama dengan YPMIC menggelar beberapa kegiatan, di antaranya seminar sehari tentang “Dialog Antar Agama untuk Perdamaian di kampus UIN Alauddin; Makan malam bersama para pegiat perdamaian dan Camping perdamaian bersama pemuda lintas iman di Malino. KFN Indonesia juga menerbitkan satu buku kompilasi para pegiat damai seIndonesia bertajuk “Menyalakan Lilin Dialog Antar Agama” (2020), yang saya edit bersama sahabat kandung Romo Yusuf Daud, yang saat ini sebagai ketua KFN Indonesia.

Pada saat itu, saya menaruh harapan yang besar bahwa kota Makassar menjadi pilot percontohan toleransi beragama di tanah air dengan melihat ghirah para pemuda Camping Perdamaian, pegiat damai kota Makassar, para penulis buku dari kota Daeng serta peserta seminar, dan juga berbagai kegiatan lintas iman berbagai organisasi masyarakat sipil dan lembaga pendidikan seperti UIN Alauddin. Sebelumnya, saya juga pernah turut serta dalam pembuatan draft Modul perdamaian Dian Interfidei di kota ini beberapa tahun sebelumnya.  Namun, harapan saya tersebut hancur berkeping-keping dengan kejadian bom di kota Makassar tersebut.

Saya tidak mendalami perkembangan Islamisme di kota Makassar, kecuali mengetahui dari berbagai bacaan ilmiah bahwa masyarakat Muslim di kota Makassar termasuk fanatik dalam beragama. Sewaktu di pondok tersebut saya menyaksikan perkembangan Jemaah Tabligh dan animo pemberlakuan perda Syari’at Islam di Bulukumba paska reformasi. Belakangan saya tahu HTI dan kelompok-kelompok Salafy juga berkembang di kota Makassar. Namun, sejauh mana panetrasi gerakan Islam transnasional tersebut untuk pertumbuhan radikalisasi mungkin perlu diteliti lebih jauh.

Tentang “Bom di Katedral Makassar”, saya hanya ingin mendiskusikan pandangan beberapa skolar yang tampaknya relevan dalam melihat persoalan Bom Makassar dari sebuah perspektif yang lebih luas. Strozier dkk (2010) berpandangan bahwa generasi baru jihadi global, khususnya setelah 11 September 2001, adalah orang modern, berorientasi internet, dan pemuda yang melek teknologi. Umumnya mereka ingin membalas dendam dengan kondisi penindasan Muslim di Afghanistan, Irak, Palestina dst. Elemen pembalasan dendam jihadism adalah penting. Pembalasan dendam berdasarkan sebuah psikologi  perlawanan serupa dengan  gagasan Nietzche: ia adalah sebuah reaksi ketimbang suatu aksi, berdasarkan suatu rasa kebencian yang mendistorsi realitas dan memandang musuh sebagai tidak bermoral.

Baca juga: PMKIT: Bom Bunuh Diri Bertentangan dengan Hukum, Hak-hak Asasi Manusia dan Agama

Lebih jauh, Strozier dkk menjelaskan bahwa jihadis memiliki dua dunia yang berbeda, dengan mana di dunia Islam dan dunia Barat terdapat perbedaan. Di Eropa, kebanyakan jihadis adalah orang Eropa, baik yang convert kepada Islam atau yang sudah menjadi bagian dari komunitas Islam, di mana mereka umumnya miskin dan tidak memiliki kerja yang mapan. Mereka merasa terasing dan tidak tersertakan dalam pembangunan di Eropa. Mereka merasa ditolak dan terstigmatisasi. Sebaliknya, dalam dunia Muslim, kebanyakan jihadis berasal dari golongan kelas menengah, meskipun dalam beberapa kasus mereka berasal dari golongan tradisional.

Pandangan di atas bisa menjelaskan bahwa pelaku Bom Katedral  adalah kaum milenial, yang tampaknya berasal dari kelas menengah, berpendidikan, melek teknologi karena bisa mengakses informasi tentang tutorial pembuatan bom melalalui internet. Selain itu, tampaknya pelaku memiliki sebuah kelompok pengajian di Makassar yang dari sana ajaran-ajaran jihad yang ekstrem, riba haram, non-Muslim kafir, dst, dipupuk. Tampaknya sejalan juga dengan sinyalemen Hwang and Schulze (2018) yang menyebutkan empat pintu masuk ke kelompok ekstremis Islam di Indonesia: pengajian, konflik lokal, kekerabatan, dan sekolah. Melalui pengajian tersebut narasi perlawanan atas ketertindasan Muslim acap dihidupkan, termasuk jihad yang berarti perang dan kekhalifahan sebagai sesuatu yang mesti perjuangkan. Sehingga tindakan jihadis di Makassar dapat diujarkan sebagai bagian dari jihad global.

Gambaran psikologis dari jihadi global dapat disingkat sebagai berikut. Pertama, internalisasi penindasan dan upaya untuk membalikkan situasi ketertindasan dengan cara yang tidak proporsional. Kedua adalah viktimisasi (merasa sebagai korban). Ketiga, keinginan untuk mendapatkan pengakuan narsistik melalui media dunia. Jihadis adalah produk dari sistem komunikasi global; proses pengakuan mereka, tidak seperti para jihadis nasional, didasarkan pada kemunculan gambar mereka di mana-mana di media di seluruh dunia.

Mengakhiri tulisan singkat ini, penulis ingin mengutip Salman Rusdhi dalam novelnya Shalimar bahwa ciri esensial orang yang melakukan teror adalah gagasan tentang kejantanan yang tidak dihormati (the idea of dishonored manhood). Karakternya Shalimar mengangkat senjatanya bukan hanya karena hatinya terluka, tetapi karena kehormatannya dihinakan dengan kehilangan wanita yang dia cintai. Dia harus membangun kembali rasa kejantanannya dengan jalan menyayat leher duta besar Amerika. Seperti halnya pasangan Lukman dan Safitri yang bercita-cita untuk menjadi mujahid melawan sebuah dunia yang menindas kaum Muslim dengan bom bunuh diri.

 

Ridwan Al-Makassary,  Pekerja perdamaian yang sedang meniti jalan sunyi intelektual di Perth, dan penulis buku “Terorisme Berjubah Agama”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *