Kabar Damai I Jumat, 21 Januari 2022
Jakarta I kabardamai.id I 19 Januari adalah hari konflik sosial di Ambon mulai terjadi. Konflik yang terjadi 23 tahun lalu tersebut tak hanya menyisakan luka, namun juga meninggalkan pelajaran penting bagi bangsa kita ke depan, yaitu pendidikan perdamaian.
Praktisi pendidikan keragaman, Muhammad Mukhlisin menilai, sebagai bangsa majemuk, kita perlu belajar dari kejadian-kejadian masa lampau. Menurutnya, konflik dan perdamaian seperti dua keping mata uang. Kita perlu belajar dari keduanya.
“Memperingati 23 tahun konflik di Ambon, kami mengajak para guru untuk refleksi dan belajar kembali pendidikan perdamaian. Sejak 2017-2018 kami mengumpulkan narasi para guru. Banyak praktik baik pendidikan perdamaian dan resolusi konflik yang kami temukan, seperti kearifan lokal pela gandong yang diimplementasikan di sekolah-sekolah menjadi pela pendidikan.” ungkap Muhammad Mukhlisin, Manajer Program Yayasan Cahaya Guru, pada diskusi buku “Guru Bacarita: Narasi Damai dari Maluku untuk Indonesia”, Rabu, 19 Januari 2022.

Muhammad Mukhlisin, Manajer Program YCG
Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Pendidikan Kota Ambon, Ferdinand Tasso menyatakan, pentingnya menggali dan menerapkan kearifan lokal dalam kurikulum pembelajaran. Dia juga menekankan lembaga pendidikan menjadi garda terdepan menanamkan nilai adil, tidak diskriminatif dan tidak eksklusif.
Baca Juga: Peran Generasi Muda dalam Merawat Kebhinnekaan dan Perdamaian
“Hal ini sudah diimplementasikan dengan pelatihan penyusunan kurikulum sejak 17-23 Desember 2021 lalu bagi kepala sekolah dan guru pengampu muatan lokal” tegas Ferdinand Tasso.
“Harapan kami, nilai harmonis dan penghargaan nilai kemanusiaan ini terus terjaga, terawat sepanjang masa” imbuhnya.
Inspektur Jenderal Kemendikbudristek RI, Chatarina M Girsang menyatakan buku seperti ini menjadi penyejuk didunia pendidikan. Menyatukan prinsip keragaman, kearifan lokal dan dunia pendidikan.
“Saya mengapresiasi para guru yang telah menerapkan kurikulum orang basudara dan kearifan lokal untuk memastikan isu-isu perdamaian ini bisa masuk pelajaran. Dan ini penting sekali karena sesuai dengan pasal 4 UU Sisdiknas, pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, non-diskriminatif dengan menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai agama, kultural dan kemajemukan bangsa.”
Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu menegaskan cerita para guru maluku ini merupakan catatan sejarah pendidikan perdamaian di Indonesia yang harus kita ceritakan terus menerus.

“Setiap daerah memiliki kearifan lokal sendiri, dan keragaman menjadi bagian dari kearifan lokal itu. Tugas kita bukan hanya mewartakan cerita damai dari Maluku tapi juga mewartakan keragaman dalam kearifan lokal sendiri dan menggunakannya untuk pendidikan perdamaian di lingkungan masing-masing,” terangnya. [MM]
Editor: Ahmad Nurcholish