Kabar Damai | Selasa, 14 Juni 2022
Jakarta | kabardamai.id | Maria Walanda Maramis lahir dari keluarga sederhana di desa Kema, Minahasa, Sulawesi Selatan pada tanggal 1 Desember 1872 dengan nama Maria Josephine Catharine Maramis. Ia merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara. Ibunya bernama Sarah Rotinsulu dan ayahnya bernama Bernadus Maramis.
Pada usia 6 tahun, Maria menjadi yatim piatu karena orang tuanya meninggal akibat wabah kolera. Ia kemudian bersama kedua kakaknya diasuh oleh pamannya yang bernama Essau Rotinsulu dan pindah ke Airmadidi di mana pamannya bekerja sebagai kepala pemerintahan distrik Tonsea (setingkat Bupati) dengan pangkat mayor.
Pendeta Ruth Kezia Wangkai juga mengkritik sistem patrilineal beberapa suku bangsa di Indonesia dimana perempuan yang sudah menikah walaupun memiliki nama sendiri tapi akan dipanggil oleh orang sekitarnya dengan nama suaminya, misalnya ‘bu Joko’. Bu Ruth mengatakan bahwa kita bisa mengenal identitas dari seorang tokoh berdasarkan namanya, seperti nama ‘Walanda’ dari tokoh Maria Walanda Maramis ini. Walanda disini berarti Belanda.
“Walaupun Maria diasuh oleh paman dan bibinya yang tergolong keluarga terpandang, Maria dan kakak perempuannya hanya menempuh pendidikan dan tamat sekolah rakyat dalam waktu 3 tahun. Inilah standar pendidikan paling tinggi kaum perempuan dari kalangan rakyat biasa,” terang Pendeta Ruth Kezia Wangkai dalam Pertemuan di Sekolah Kepemimpinan Pemuda Lintas Agama, Jumat (03, 06/2022).
Sebagaimana yang berlaku pada masyarakat waktu itu, pendidikan untuk anak perempuan hanya cukup sampai disitu karena kewajiban selanjutnya adalah belajar mengurus hal-hal domestik sekaligus sebagai persiapan perkawinan. Lain halnya dengan kakak laki-lakinya yang mendapatkan perlakuan istimewa yakni melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dan bahkan ke sekolah yang bergengsi yang dikhususkan bagi anak laki-laki keluarga pejabat tinggi/berkuasa.
Hidupnya bersama dengan keluarga dari pamannya yang bergelar mayor dan menjabat sebagai kepala distrik membawa Maria pada suatu lingkungan sosial terpandang. Di sinilah Maria dan kakak perempuannya belajar/diajarkan tata krama pergaulan, masak memasak, dan urusan rumah tangga lainnya.
Pada usia 19 tahun, Maria menikah dengan Jozef Frederik Calusung Walanda, seorang guru yang pandai berbahasa Belanda. Mereka kemudian pindah ke desa Maumbi. Pernikahan dengan suaminya yang berprofesi sebagai guru memungkinkan ruang pergaulan Maria semakin luas dan bahkan meliputi kalangan pejabat dan kelas berpendidikan.
Baca Juga: Membangun Organisasi Pembelajar Bersama Irfan Amalee
Di Maumbi, Maria bertemu dengan keluarga pendeta bernana Jan Ten Hoeve, yakni misionaris yang bertugas di kota Manado sekitar tahun 1890-1910. seperti para misionaris lainnya yang diutus oleh Badan Zending Belanda, pendeta Ten Hoeve, selain melayani umat, juga bekerja sebagai guru formal maupun informal. Pendidikan model Zending ini merupakan bagian metode penginjilan yang sangat maju dan berpengaruh di tanah Minahasa pada saat itu. Selain sejalan dengan ‘politik etik’ pemerintahan kolonial Belanda, juga dilihat bahwa pendidikan akan dapat membawa orang Minahasa untuk mengerti agama baru (Kristen) yang diajarkan oleh para misionaris.
“Keluarga pendeta Ten Hoeve mudah beradaptasi, sangat disukai dan disegani oleh masyarakat setempat. Rumah mereka terbuka bagi anak-anak untuk belajar, apapun jenis kelaminnya, tidak aa diskriminasi dan perbedaan. Di antara mereka, bahkan ada yang tinggal menetap sebagai ‘anak piara’. Disinilah Maria berkenalan dengan istri dari pendeta Ten Hoeve yang banyak mengajarkan tentang urusan kerumahtanggaan, etika pergaulan, hal berpakaian, cara berkebun di pekaramgan rumah hingga belajar bahasa Belanda,” ungkap Pendeta Ruth.
Menurut Pendeta Ruth, Ini merupakan salah satu metode penginjilan yang kemudian menjadi cikal bakal sekolah asrama yang diadopsi oleh Maria setelah PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) berdiri. Ini adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh Maria.
Kemudian, Pendeta Ruth juga menjelaskan tentang kiprah dan kontribusi Maria yang dibagi kedalam beberapa bagian, antara lain:
- Ranah Pendidikan
Tidak ada kepastian kapan, tetapi diperkirakan sebelum tahun didirikan organisasi bernama PIKAT pada tahun 1917, Maria dan keluarga sudah pindah ke kota Manado mengikuti mutasi suaminya. Disana, Maria tidak hanya berjumpa dengan orang-orang dari beragam suku dan agama, serta berkenalan dengan banyak teman-teman guru dari suaminya, tetapi juga melihat bahwa saatnya ia mewujudkan cita-cita dan harapannya yakni memajukan kaum perempuan, terutama di bidang pendidikan. Pengalaman diskriminatif berbasis gender dengan kakak perempuannya yang tidak boleh melanjutkan pendidikan tinggi serta adanya perbedaan kelas sosial yang mulai muncul yang membatasi sekolah-sekolah tertentu hanya dikhususkan bagi mereka yang berkebangsaan Belanda dan para pejabat memunculkan kegelisahan dalam diri Maria. Dalam hatinya ia bertanya bahwa mengapa anak lelaki boleh meneruskan pendidikannya tetapi anak perempuan hanya boleh duduk dirumah saja. Pergulatan batin yang lahir dari struktur masyarakat patriarkal yang melahirkan realitas ketidak adilan, gender superior, bahkan yang dialaminya sendiri membentuk kepribadian Maria sejak kecil bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara. Pemikiran untuk mencapai kesetaraan gender terutama di bidang pendidikan tampak sekali dipengaruhi oleh relasi Maria dengan Nyonya Hoeve, isteri dari misionaris Ten Hoeve. Namun, mungkin juga ide kesetaraan telah melekat pada dirinya sebagai seorang perempuan Minahasa yang mewarisi nilai-nilai kultural yang egaliter dan demokratis. Paduan idealitas perjuangan bagi pemenuhan hak-hak perempuan dalam bidang pendidikan mendorongnya menjadi penggerak dan berhasil mendirikan sebuah organisasi bernama PIKAT pada tahun 1917. berawal dari perkumpulan perempuan Minahasa, kemudian berkembang menjadi organisasi yang fokus pada pendidikan ketrampilan kerumahtanggan bagi anak-anak gadis. Untuk memenuhi pendidikan yang dimaksud, diputuskanlah penyediaan rumah tinggal bagi para anak gadis yang akan belajar di sekolah PIKAT. Pada tahun berkitunya yaitu 1918, berdirilah sekolah bersama asramanya dengan nama Huizhoud School, yang kemudian dikenal dengan nama Huize Maria.
- Ranah Jurnalisme
Untuk mewujudkan cita-cita dan harapannya untuk pemenuhan hak dan pemajuan kaum perempuan, Maria mempropaganda gagasan dan pemikirannya itu dengan menulis di berbagai media cetak yang ada, diantaranya koran ‘Tjahaja Siang’ dan selanjutnya PIKAT sendiri menerbitkan surat kabar bernama De PIKAT yang kemudian berganti nama menjadi Onze PIKAT dan selanjutnya menjadi Soeara Pikat. Setelah itu, Maria juga mulai melancarkan kritiknya pada surat-surat kabar terhadap pengaruh budaya Barat yang kian dominan, terutama terhadap perempuan Minahasa terkait gaya hidup hedonis, konsumeris, dan tidak mandiri. Pada masa itu, Maria tidak hanya tampil sebagai kontributor jurnalis yang aktif dan kritis, tetapi juga menjadi okoh perempuan yang vokal terhadap perjuangan pembebasan dari penjajah dan struktur-struktur sosial yang menindas.
- Ranah Politik
Perjuangan Maria tak hanya untuk pemenuhan hak perempuan dalam mengakses pendidikan, tetapi juga merambah hingga ke ranah politik, yakni hak untuk memilih dan dipilih untuk menjadi anggota dari badan Perwakilan Daerah yang waktu itu bernama Minahasa Raad. Perjuangannya ini berhasil setelah diputuskan hak politik kaum perempuan pada tahun 1921.
- Ranah Budaya
Maria juga adalah perempuan yang berakar dalam kultur keminahasaan yang kuat. Ia terlihat antara lain dalam pementasan budaya oleh PIKAT dalam rangka pengembangan kemandirian dana yang menampilkan drama tentang Pingkan Matindas. Kisah ini adalah sebuah legenda rakyat Minahasa yang menceritakan tentang tokoh Pingkan sebagai perempuan berani, cerdas, dan berakal dalam menyusun strategi mengalahkan raja Mongondow. Kecerdasan yang dibarengi dengan kebijaksanaan itulah yang membuatnya berhasil menyelamatkan suaminya dari ancaman pembunuhan raja tersebut.
Setelah Pendeta Ruth memberikan gambaran dari segi biografi maupun ranah perjuangan Maria Walanda Maramis, beliau memberikan beberapa catatan belajar dari pemikiran Maria Walanda Maramis bagi kita kini. Sosok Maria adalah role model bagi perjuangan juga kini dalam melawan struktur patriarkal berkelindan dengan sistem kelas, dan sampai sekarang masih hidup, masih memarginalkan dan mensubordinasi kaum perempuan dan kelas minoritas lain.
Persilangan ragam peradaban melalui perjumpaan dan interaksi perempuan lokal dan barat melahirkan sosok hibrid yang mampu merespon tantangan jamannya dan mampu melakukan transformasi sosial. Pendidikan modern awalnya diberlakukan oleh pemerintahan kolonial sebagai politik etis (politik balas budi), kemudian dipakai oleh Maria sebagai alat pembebasan dan pemajuan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan politik. Pertanyaan reflektifnya adalah: bagaimana dengan kita dan dengan lembaga pendidikan kita kini?
Demikian juga persilangan dengan urusan publik dan domestik memampukan Maria membawa kaum perempuan masa itu dapat melepaskan diri dari ketertinggalannya dan ketidakadilan gender serta kelas dan merekonstruksi struktur baru yang setara, terutama dalam pendidikan dan politik.
“Aksinya ini tentu melampaui stereotip-stereotip perempuan masa itu. Ini menjadi tantangan buat kita, kaum perempuan masa kini. Apakah spirit ini masih hidup di kalangan perempuan untuk membebaskan diri dari domestikasi yang menindas menjadi perempuan yang merdeka dan otonom atas dirinya,” tutupnya.
Penulis: Harkirtan Kaur
Editor: Ai Siti Rahayu