Belajar dari Kerusuhan Sambas 1999: Konflik Suku Dayak-Melayu dan Madura

Kabar Utama638 Views

Oleh: Ragil Awalia Alpendri

Keragaman suku bangsa adalah kekuatan dan keunikan bagi bangsa Indonesia. Kemampuan untuk mengelola keragaman suku bangsa yang besar diperlukan untuk mencegah terjadinya perpecahan yang akhirnya mengganggu integrasi bangsa Indonesia.

Pertikaian antar suku adalah masalah yang sering kali muncul pada negara yang memiliki keragaman suku bangsa. Demikian juga Indonesia, dalam hal ini salah satu contoh nyatanya adalah konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat yang timbul antara suku Dayak- Melayu melawan suku Madura.

Kalimantan Barat mengalami konflik antar suku sejak tahun 1950-an, secara umum tercatat mengalami 7 kali yang dimulai pada tahun 1952 di Semalantan, 1968 dan 1976 di sungai pinyuh, 1977 di Singkawang, 1983 di sungai Ambawang, 1993 di kota Pontianak, 1996 di Sanggau Ledo dan yang terakhir di Sambas tahun 1999. Pada kerusuhan-kerusuhan sebelumnya hanya terjadi khusus pada suku Dayak melawan suku Madura. Namun pada tahu

1999 suku Melayu yang selama ini tidak pernah terlibat dalam konflik akhirnya harus turun tangan dan berurusan dengan suku Madura.

Selama ini konflik yang terjadi antar suku di Kalimantan Barat, yang terlibat adalah suku Madura dan suku Dayak. Tapi kali ini konflik antar suku di kabupaten Sambas merupakan sebuah peristiwa yang mengejutkan dan tak terduga dikarenakan baru kali ini orang-orang dari suku Melayu terlibat secara langsung dalam sebuah konflik terutama dengan suku Madura.

Konflik suku Melayu dengan suku Madura Sambas pada tahun 1999 faktor penyebabnya dimulai pada tahun 1992. Pada saat itu sebuah perusahaan BCM dan petani jeruk di daerah pedesaan sedang berselisih karena adanya monopoli pemasaran jeruk. Mulai sejak itulah masyarakat Sambas terutama oleh orang-orang suku Melayu mengalami krisis ekonomi yang sangat luar biasa.

Pada keadaan krisis ekonomi tersebut orang-orang suku Melayu harus terpaksa berhadapan dengan tekanan yang datang dari orang-orang suku Madura. Suku Madura yang dianggap pendatang dinilai ingin menguasai dan mendominasi dengan cara kekerasan. Kedatangan orang-orang Madura ke kabupaten Sambas dari tahun ke tahun semakin bertambah dan mulai menyingkirkan orang-orang Melayu terutama dalam bidang ekonomi akibat krisis jeruk yang membuat mereka semakin frustrasi dan tertekan.

Aktivitas orang-orang Madura dan orang – orang Melayu didasari oleh persamaan jenis pekerjaannya sebagai petani dan buruh. Akibat pekerjaan yang sama timbullah suatu perebutan sumber daya ekonomi terutama tanah pertanian di daerah pedesaan.

Baca Juga: Rekonsiliasi Konflik Antar Suku Madura dan Melayu di Sambas Pasca Kerusuhan 1999

Munculnya gejala awal di mana orang-orang Melayu mulai tergusur oleh orang-orang Madura. Hubungan aktivitas ekonomi antar orang-orang Melayu dan Madura bermula sangat baik. Namun orang Madura yang bekerja di kebun milik orang Melayu mulai berusaha menguasai tanah yang digarapnya dan mengusir majikannya.

Sampai pada tahun 1999 menjelang konflik, orang orang Madura yang pada saat datang tidak mempunyai lahan sedikitpun, berhasil menguasai 6.694, 78 Ha lahan pertanian dan perkebunan (data Pemda tingkat ll kabupaten Sambas).

Selain di sektor pertanian hal yang menjadi faktor munculnya perselisihan adalah perebutan usaha di bidang transportasi. Jasa transportasi merupakan sumber penghidupan yang banyak menghasilkan uang, wajar ketika awalnya bidang ini yang dikuasai oleh orang-orang Melayu kemudian akhirnya berpindah kuasa menjadi orang orang Madura munculkan persaingan tidak sehat dan berdampak pada sebuah gesekan-gesekan yang memicu konflik.

Konflik antar etnis di Sambas merupakan akibat dari tidak adanya kebijkan pemerintah dalam mengatur sistem ekonomi yang jelas di daerah, hingga timbullah kesalahpahaman antar orang- orang dari suku Melayu dengan orang-orang suku Madura.

Sebagai akibat dari keadaan ini, banyak dari kalangan suku Melayu khususnya kalangan muda yang terpaksa meninggalkan daerah Sambas dan pergi merantau ke Malaysia, Batam dan Kota Pontianak. Sementara orang- orang suku Madura yang berhasil dalam bidang ekonomi, mulai terjun ke bidang politik pula.

 

Kronologis Pecahnya Kerusuhan

 

Konflik antar etnis di Sambas pada tahun 1999 diawali dengan tertangkapnya seorang dengan suku Madura yang berasal dari Desa Sari Makmur Kecamatan Tebas yang hendak mencuri sepeda motor di rumah seorang warga Melayu Parit Setia Kecamatan Jawai. Hasan merupakan tersangka pencuri yang ditangkap dan dipukuli warga sebelum di serahkan ke Polsek Jawai. Kemudian tiga orang pemuda Madura dari Desa Sari Makmur datang ke Polsek Jawai untuk menjemput Hasan yang di bebaskan polisi.

Kepulangan Hasan dengan kondisi babak belur dan penuh luka mengakibatkan keluarganya murka. Pada 19 Januari 1999 sekitar 300 warga Madura menyerang warga Melayu di Desa Parit Setia yang akhirnya mengakibatkan hilangnya nyawa 3 orang, 2 diantaranya orang Melayu dan 1 orang Dayak mu’alaf. Upaya damai dengan mediator camat Tebas tidak membuat pihak Melayu puas karena tak ada hukuman berarti bagi pelaku penyerangan tersebut.

Pihak Melayu meminta para pelaku seluruhnya ditindak tetapi pelaku yang ditangkap hanya 1 orang yakni anak kepala desa yang mempunyai truk sebagai kendaraan pengangkut warga Madura yang terlibat penyerangan. Sedangkan dari pihak Melayu ditangkap dan diamankan sebanyak 8 orang yang semuanya mengaku sebagai penganiaya pencuri kendaraan.

Akibatnya secara keseluruhan dari Konflik 1999 ini, tercatat pada data resmi konflik menyebabkan 200 korban jiwa dan 58.544 orang Madura dari Kab. Sambas mengungsi. Pemerintah berusaha menyelesaikan konflik dengan cara memindahkan orang – orang dari suku Madura dari wilayah Sambas ke Kotamadya Pontianak dan Kota Singkawang. Terjadi penolakan keras dari orang-orang Melayu di Sambas bila orang-orang Madura hendak kembali.

Dampak konflik ini, semua aspek kehidupan sekitar sempat tersendat karena kecurigaan pada orang-orang yang ingin masuk ke wilayah Sambas terlalu berlebihan, sehingga membuat pengusaha ataupun pedagang takut untuk mengembangkan usahanya di Sambas.

 

Upaya Penanganan Konflik

Pemerintah, Aparat Penegak Hukum, serta masyarakat sepakat melakukan upaya penanganan untuk menyudahi kerusuhan ini. Maka untuk sementara demi keamanan dua belah pihak, etnis Madura dipindahkan dari wilayah konflik ke tempat yang lebih aman. Selain itu juga ada beberapa upaya yang bisa di lakukan untuk menyelesaikan dan mencegah agar konflik tidak terjadi lagi, yaitu:

  • Untuksementara waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya, etnis Dayak dan Melayu sepakat tidak menerima kembali etnis Madura di bumi Kalimantan terutama di daerah konflik . Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bentrokan di antara mereka karena sangat rentan tersulut oleh isu yang akan membakar kemarahan kedua belah pihak;
  • Rehabilitasibangunan yang rusak akibat pengrusakan dan pembakaran terhadap infrastruktur masyarakat umum juga dilakukan agar dapat berjalannya kegiatan masyarakat sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga perlu mendapat perhatian dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang damai dan melibatkan kembali seluruh tokoh masyarakat;
  • Re-evakuasi dilakukan bagi korban konflik ke daerah yang lebih aman. Untuk ituperhatian terhadap keamanan mereka di daerah pengungsian harus didukung oleh pihak keamanan sampai mereka mendapat tempat yang layak;
  • Dialogantar etnis yang berkesinambungan dengan memanfaatkan lembaga adat masyarakat perlu dilakukan dalam proses pembentukan kerjasama mengakhiri konflik yang berkepanjangan;
  • Demikian juga dengan penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum perludilakukan secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada etnis tertentu selain itu kemampuan personil petugas keamanan perlu ditingkatkan.

Terjadinya kerusuhan Sambas 1999, suku Dayak-Melayu dengan suku Madura adalah sebab dari kurangnya perhatian pemerintah pada peranan masyarakat setempat pada kegiatan ekonomi, hingga menimbulkan monopoli perdagangan yang menyebabkan krisis ekonomi.

Akses mudah bagi para pendatang turut menyebabkan diskriminasi pada suku asli yang tinggal sejak lama, membuat orang-orang Dayak-Melayu sebagai suku asli tertekan dan terpaksa meminggir membiarkan suku Madura mendominasi.

Selain itu dalam sejarah konflik di Kalimantan secara umum dipicu oleh dipraktekkannya tindak kekerasan baik dalam bentuk penganiayaan dan pembunuhan manusia di daerah konflik. Konflik etnis Sambas pada 1999 adalah akibat dari tidak berfungsinya peran pemerintah pusat dan daerah serta tokoh-tokoh terkemuka di Sambas.

 

Oleh: Ragil Awalia Alpendri, Siswi SMAN 1  Pontianak

 

Sumber

Cahyono, Heru dkk. 2008. Konflik Kalbar dan Kalteng: Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan P2P-LIPI.

Mandayun, Rustam F dan Iwan Setiawan, 1999. Mereka Lari ke Malaysia www.library.ohiou.edu/indopubs/1999 /04/01/0094.

Kompas edisi Rabu 20 Desember 2000 yang ditulis oleh Jannes Eudes Wawa dengan judul

Konflik Orang-orang Di Kalbar

Purwana, Bambang Hendrarta Suta. 2003. Konflik Antar komunitas di Sambas 1999; Suatu Tinjauan Budaya. Pontianak: Romeo Grafika.

Alwan Hadiyanto. Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA. ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *