Oleh: Muhammad Farrel A. N
Bagian yang menjadi salah satu catatan hitam bagi bangsa Indonesia ialah ketika adanya reformasi pada Tahun 1998. Dimana pada saat itu selain adanya ketimpangan ekonomi, banyaknya kasus korupsi ialah munculnya kecemburuan yang terjadi antara etnis Cina dan masyarakat pribumi. Kasus ini terjadi hampir di semua wilayah. Misalnya saja di Kota Surakarta, DKI Jakarta, dan daerah lainnya.
Di Indonesia, orang keturunan Cina memegang kendali perekonomian Indonesia. Beberapa dari mereka sangat kaya meskipun jumlah mereka hanya sekitar 2% dari populasi masyarakat Indonesia.
Saat krisis ekonomi menghantam Indonesia pada tahun 1998, oknum-oknum yang berkepentingan politik mengambinghitamkan orang keturunan Cina atas krisis yang terjadi. Oknum-oknum tersebut mengerahkan massa yang terdiri dari masyarakat pribumi untuk menyerang mereka.
Sudah lebih dari dua dekade peristiwa itu terjadi tapi diskriminasi dan kebencian terhadap etnis Cina masih ada hingga sekarang. Pandemi COVID-19, yang berawal dari Wuhan, Cina, menjadi amunisi baru untuk kembali menyerang etnis Cina di Indonesia.
Kebencian berujung prasangka dan stigma hingga diskriminasi masih kerap terjadi. Oleh karenanya, perlu kesadaran dan upaya untuk mengakhirinya. Oleh karenanya, upaya penyelesaian atau rekonsiliasi konflik tersebut setidaknya dapat dilakukan dengan beberapa cara dibawah ini.
Baca Juga: Upaya Penyelesaian Konflik Antar Etnis Tionghoa dan Pribumi
Pertama, konflik harus dimanagement menuju rekonsiliasi. Konflik memang bukan sesuatu yang diharapkan oleh setiap orang yang hidup di dunia ini. Apa lagi konflik yang bernuansa karena perbedaan agama yang dianut dan pebedaan etnis. Konflik yang demikian itu memang suatu konflik yang sangat serius. Untuk meredam wajah bahaya dari konflik itu, maka konflik itu harus dimanagement agar ia berproses ke arah yang positif.
Upaya kedua dengan meredam. Setiap manusia memiliki nafsu atau dorongan hidup dari dalam dirinya. Salah satu nafsu itu ada yang disebut nafsu Distinksi. Nafsu Distinksi ini mendorong seseorang untuk menjadi lebih dari yang lainya. Kalau nafsu ini dikelola dengan baik justru akan membawa manusia menjadi siap hidup bersaing. Tidak ada kemajuan tanpa persaingan.
Cara ketiga dengan intervensi pihak ketiga (Third Party Intervention). Solusi konflik melalui pihak ketiga merupakan kontinum dari intervensi pihak ketiga yang keputusannya mengikat para pihak yang terlibat konflik ketika kedua belah pihak yang sedang berkonflik tidak mampu menyelesaikan konflik mereka.
Pihak ketiga bisa bersikap pasif menunggu datangnya pihak yang terlibat konflik untuk meminta bantuan. Di sisi lain pihak ketiga juga bisa bersikap aktif dengan membujuk kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik mereka. Meski kerusuhan sudah terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu, trauma atas peristiwa itu sangat membekas.
Baik responden beretnis Cina maupun pribumi masih mengingat dengan jelas perasaan marah dan takut ketika membayangkan kerusuhan Mei 1998. Penelitian menunjukkan memori pengalaman buruk di masa lalu sulit dilupakan karena terdapat stimulus yang dapat memicu memori mengenai kejadian tersebut. Misalnya, saat sedang melihat berita tentang kerusuhan di suatu tempat, responden mengatakan dirinya selalu teringat perasaan mencekam saat kerusuhan Mei 1998 di masa lalu.
Oleh: Muhammad Farrel A. N, Mahasiswa