‘Arbitrase’ Upaya Damai Sengketa Masyarakat dan Tanah Adat

Oleh: Amaninda Jihan

Masyarakat dan tanah adat menjadi salah satu fenomena konflik nasional yang tidak pernah menjumpai akhir. Istilah masyarakat adat pada umumnya disematkan oleh pihak lain dengan merujuk pada klaim kewilayahan yang dalam hal ini disebut dengan tanah adat dan dianggap menjadi bagian dari komunitas setempat tersebut.

Inilah mengapa masyarakat adat sangat lekat dengan kekuasaan tanah adat yang tidak bisa diganggu gugat. Bagi masyarakat adat, tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini disebabkan hampir seluruh aspek kehidupannya tidak dapat terlepas dari keberadaan tanah yang sesungguhnya tidak hanya dapat ditinjau dari aspek ekonomi saja, melainkan meliputi segala kehidupan dan penghidupannya.

Dalam menunjang dan menggerakkan pembangunan nasional yang begitu cepat pastilah membutuhkan sumber daya alam yang banyak, baik sumber daya alam produksi ataupun lahan penunjang sebagai fondasi dari pembangunan.

Proses pembangunan yang fenomenal dan brutal membuat disatu sisi penguasaan sumber daya alam terutama wilayah atau lahan menjadi semakin penting, dinamika pembangunan mengakibatkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat sedangkan persediaan akan tanah terbatas, sehingga makin banyak timbul benih-benih konflik yang mewarnai perjalanan pembangunan itu sendiri.

Globalisasi melalui rezim WTO juga mendorong negara  berkembang untuk memberi dan mendatangkan kemudahan bagi investasi untuk menikmati sumber-sumber agraria. Dengan pendekatan seperti itu memunculkan ideologi dominan globalisasi dengan menikmati sebanyak-banyaknya sumber-sumber agraria.

Baca Juga: Pesan Islam untuk Menghormati dan Memuliakan Masyarakat Adat

Wajar jika pada akhirnya penguasaan dan sistem ini menggerus dan merusak hak-hak tanah adat dan memunculkan berbagai macam konflik penyebab perpecahan. Padahal, dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (1) secara tegas mengatur bahwa Hak Ulayat adalah wewenang yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Sayangnya, perwujudan dari hak ulayat masyarakat hukum adat setempat sering kali terjadi pelanggaran terhadap hak adat. Sengketa tanah dalam masyarakat setiap tahun semakin meningkat dan terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia baik di perkotaan maupun di pedesaan termasuk salah satunya di Maluku.

Kasus pertanahan yang sering terjadi bila dilihat dari konflik kepentingan para pihak dalam sengketa pertanahan antara lain : Rakyat berhadapan dengan birokrasi, Rakyat berhadapan dengan perusahaan negara, Rakyat berhadapan dengan perusahaan swasta, Konflik antara rakyat Hampir di setiap daerah yang terdapat sengketa tanah ulayat.

Penggunaan tanah ulayat oleh para investor atau pihak lainnya seringkali menimbulkan sengketa. Hal ini disebabkan karena penggunaannya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Menurut hukum pertanahan di Indonesia, penggunaan lahan oleh para investor harus berhadapan langsung dengan pemilik tanah atau masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat dengan melaksanakan perjanjian. Pada kenyataannya, para investor justru langsung mendapatkan tanah tersebut melalui Pemerintah. Akibatnya masyarakat sebagai pemilik mengajukan protes bahkan demo besar-besaran.

Sengketa tanah dapat menimbulkan gangguan yang melibatkan banyak masyarakat, maka dituntut penangan secara tepat. Para pihak yang terkait dan berwenang menangani permasalahan tersebut menyelesaikan dengan berbagai cara.

Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama ini adalah melalui pengadilan (litigasi), dalam dimensi yuridis penguasaan tanah dan pemilikan tanah memerlukan perlindungan, implikasinya harus terdapat perlindungan hukum terhadap hak-hak keperdataan pemilikan tanah dan perlakuan yang adil terhadap kepemilikan tanah tersebut.

Sengketa tanah yang berlarut-larut dan tidak ada penyelesaian yang baik dapat menyebabkan pihak yang dirugikan melakukan gugatan ke pengadilan. Meskipun ada peluang lebar menggugat melalui pengadilan tetapi pihak awam cenderung menghindarinya, selain itu terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa pengajuan gugatan lewat pengadilan relatif mahal, memakan waktu yang cukup lama bahkan berbelit-belit.

Baca Juga:

Oleh karena itu diupayakan masyarakat menyelesaikan sengketanya dengan menempuh jalur non litigasi. Penyelesaian melalui jalur pengadilan bertujuan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, maka penyelesaian di luar pengadilan justru yang diutamakan adalah perdamaian dalam mengatasi sengketa yang terjadi di antara yang bersengketa dan bukan mencari pihak yang benar atau salah. Bila harus mencari siapa yang benar dan yang salah tidak akan menghasilkan keputusan yang menguntungkan para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa non litigasi atau alternative yang lebih dikenal dengan istilah Alternatif Dispute Resolution (ADR) diatur dalam Undang Undang Nomor 9 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa dengan cara ini digolongkan dalam media non litigasi yaitu merupakan konsep penyelesaian konflik atau sengketa yang kooperatif yang diarahkan pada suatu kesepakatan satu solusi terhadap konflik atau sengketa yang bersifat win-win solution.

Jika dilihat dari tradisi adat yang selalu menghormati para tetua adat, maka jalur komunikasi internal dengan arbitrase dapat menjadi solusi yang ampuh dalam permasalahan sengketa tanah adat. Upaya damai dengan komunikasi akan berjalan jauh lebih efektif karena selain sebagai kebutuhan dasar yang penting bagi manusia juga dapat memberikan mereka harapan hidup dan kepastian/ jaminan kesejahteraan mereka. Arbitrase juga akan menjadi iklim positif bagi pemerintah untuk menyusun rencana pembangunan yang berkesinambungan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri ataupun untuk mendatangkan investor dengan hukum dan ketentuan yang jelas.

Dalam prosesnya, beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah dalam upaya perdamaian sengketa masyarakat dan tanah adat adalah sebagai berikut :

Memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat adat

Seringkali pemerintah mengeluarkan undang-undang yang tumpang tindih dan tidak berjalan maksimal, akibatnya terjadi kegagalan pemahaman juga penerapan bagi para penyewa lahan/investor yang akan berujung pada konflik dua sisi. Meskipun pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Dasar Pokok-pokok Agraria UUPA nyatanya masih terjadi pelanggaran terhadap hak adat tersebut yang terjadi karena adanya peraturan yang saling bertentangan, belum adanya pengaturan tentang kepemilikan kolektif atas tanah sehingga menyebabkan ketidakjelasan prosedur pengakuan hak kolektif. Maka dari itu penting sekali untuk memberikan kejelasan hukum diawal kepada masyarakat adat maupun pihak investor. Sehingga saat penyelesaian arbitrase pun akan berpatokan pada dasar yang jelas.

Meningkatkan kontribusi dan peranan kepala adat 

Peranan Kepala adat dalam menyelesaikan sengketa tanah antar masyarakat adat adalah sebagai fasilitator  yang memfasilitasi/penghubung para pihak yang bersengketa, sebagai mediator/mediasi para pihak yang bersengketa dan sebagai pemimpin peradilan adat dalam proses penyelesaian sengketa,  serta sebagai hakim perdamaian dalam pengambilan keputusan penyelesaian sengketa tanah dalam proses musyawarah/Led Kerapatan Adat. Setelah para pihak menerima hasil keputusan musyawarah/Led kepala adat akan menerbitkan Surat Keputusan Damang Kepala Adat  sebagai kekuatan hukum yang mengikat yang secara tidak langsung juga akan menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi.

Memenuhi dan menjaga hak-hak sesama pihak

Sengketa antar masyarakat/tanah adat seringkali terjadi karena hilangnya rasa untuk saling menghargai dan memenuhi hak-hak masing-masing pihak. Akibatnya akan ada pihak yang merasa dirugikan dan tertindas.

Keberadaan masyarakat adat tidak jauh dari keinginan mereka untuk menguasai beberapa wilayah sebagai sumber penghidupan mereka. Sayangnya permasalahan seperti sengketa dan atau konflik tanah masih terus terjadi. Permasalahan sengketa masyarakat/tanah adat yang berlarut-larut dan dapat menyebabkan pihak yang dirugikan melakukan gugatan ke pengadilan.

Meskipun ada peluang lebar menggugat melalui pengadilan tetapi pihak awam cenderung menghindarinya, selain itu terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa pengajuan gugatan lewat pengadilan relatif mahal, memakan waktu yang cukup lama bahkan berbelit-belit.

Oleh karena itu diupayakan masyarakat menyelesaikan sengketanya dengan menempuh jalur non litigasi. Komunikasi internal melalui arbitrase dapat menjadi salah satu jalan yang dapat ditempuh dan digunakan para pihak terkait untuk mencari upaya perdamaian.


Oleh: Amaninda Jihan, Siswi SMAN 1 Pontianak

Sumber Referensi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *