Kabar Damai | Kamis, 7 Desember 2022
Jakarta I Kabardamai.id I Satu bulan sejak diresmikannya tiga provinsi baru oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Tiga provinsi antara lain, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Pemekaran Provinsi Papua dilihat sebagai proses percepatan pembangunan Papua.
Namun peresmian provinsi Papua menjadi tiga provinsi menimbulkan pertanyaan besar bagi APS (Analisis Papua Strategis). Apakah pemekaran itu merupakan keiinginan elit politik yang terus dgaungkan ddan dinasionalkan sampai menjadi kebijakan yang telah diresmikan.
Pertanyaan tersebut disampaikan Ketua Analisis Papua Strategis, Laus Deo Calvin Rumayon, dalam pertemuannya dengan ICRP di Bandung pekan lalu. “Kita harus melihat pemekaran dalam sebuah proses, menariknya dalam satu pertanyaan riset yang mungkin atau akan dilakukan :apakah pemekaran itu keiingan elit politik?”.
Tiga Substansi Ruh UU Otsus 2001
Dilansir dari laman resmi Pemerintah Papua, pemekaran wilayah di Papua adalah pengaruh diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua, menjadi kunci dan faktor utama. Penting bagi APS mencoba melihat hal ini secara substansial.
Baca juga : APS dan ICRP Ajak Lintas Iman Donasi untuk Cianjur
Laus mengatakan, faktor geografis dan populasi perlu kita lihat sebagai kata kunci. Dilansir dari laman resmi Badan Pusat Statiskti (BPS) tahun 2021, jumlah penduduk Papua mencapai 4,7 juta jiwa. Jumlah penduduk yang demikian jika dibagi menjadi 5 provinsi dengan provinsi baru, maka jumlah populasi di tiap provinsi tersebut tidak lebih dari 2,5 juta.
Dengan jumlah SDM yang terbatas ini, Laus menyampaikan kekhawatirannya terhadap pembangunan SDM di provinsi pemekaran tersebut. “Pemerintah perlu menyiapkan SDM dalam proses politik di Papua dan bagaimana menjalankannya” sebutnya.
Laus menegaskan ketersediaan SDM dalam pembangunan Papua menjadi penting karena hal tesebut mengacu pada UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua tahun 2001. Terdapat 3 substansi dan ruh yang menjadi tujuan utama UU Otsus diberlakukan. Keberpihakan, pemberdayaan dan afirmasi harus menjadi tolak ukur dalam pembangunan Papua. Jika berdasarkan UU Otsus, orang asli Papua harus mengisi kursi pemerintahan sebanyak 80% yang tidak hanya bersifat otonom namun juga dapat mengisi secara vertikal.
“Maka perlu adanya pendampingan dan pengawalan terhadap pemerintahan yang sudah ditetapkan secara resmi sebagai daerah otonomi baru”, lanjut Laus.
Perlunya strategi dalam ketersediaa SDM di Daera Otonomi Baru
Lebih lanjut APS menyoroti perlunya menyiapkan dan mendata secara rinci jumlah SDM dengan kemampuan profesi yang bersifat hardskill. Ketersediaan dokter spesialis, mekanik pesawat pilot dan kebutuhan profesi lainnya yang akan menunjang pembangunan di daerah otonom baru.
“Apapun strategi Pemerintah dalam membangun daerah otonomi baru harus memperhatikan komposisi SDM yang realistis, tanpa itu sebagus apapun UU dan kebijakan, seberapapun uang yang kita punya tidak akan menjawab substansi Otsus”, jelas Laus.
Laus pun mendorong teman-teman di Papua agar mulai fokus pada pembangunan SDM dalam mengejar pembangunan infrastruktur dan pemerataan pendidikan.
“Saya arahkan teman-teman di Papua tidak perlu bicara lebar, kita hitung saja dokter spesialis berapa, pilot berapa, wilayah pegunungan kita butuh pilot, membutuhkan mekanik pesawat, bandara, wilayah kita sebagian membutuhkan skill-skill yang memang kita harus mulai berfikir ke sana,” lanjut Laus
Perbaikan regulasi dan kebijakan terhadap Papua memang menjadi fokus pemerintah dalam mengatasi berbagai konflik yang terjadi. UU Otsus dibentuk sebagai bentuk percepatan pemerataan, peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan.
“Saya lihat sejauh ini semangat pemerinta lebih kepada perbaikan regulasi dan kebijakan atau kuota anggaran, tapi dalam skenario perkembangan SDM masih belum optimal,” jelas Laus.
Kementerian Keuangan mendukung keberpihakan pemerataan pembangunan SDM Papua melalui program beasiswa LPDP. Perlunya perhatian khusus dari kementerian dalam mempercepat pembangunan di Papua.
“Kita harap Kementerian yang lain juga harus berinovasi, seperti Kementerian Perhubungan yang harusnya memiliki strategi melihat Papua memiliki lebih dari 400 lebih bandara lokal”, tegas Laus.
Terakhir Laus menegakan dalam pembangunan sebuah daerah, diperlunya sumber daya Guru untuk mengejar ketertinggalan pendidikan yang terjadi di Papua. Laus berhaap pemerintah dapat fokus pada pemenuhan ketersediaan guru di Papua dalam menyiapkan pembangunan.
“Kita pakai motto Jepang, setelah bom Hirosima dan Nagasaki, pemerintah Jepang mengumpulkan semua guru dalam dalam menghadapi fase transisi”, ujar Laus,.
Pendidikan akan membawa perubahan yang sangat pesat untuk Papua.
“Karena pendidikan, generasi kita hari ini akan mengerti bangsa ini akan kita bawa kemana, kita akan mau ngapain”, tutur Laus.
Penulis : Amatul Noor