Kabar Damai | Kamis, 17 Maret 2022
Pontianak I Kabardamai.id I Penempatan perempuan sebagai kelompok masyarakat nomor dua dalam masyarakat masih banyak ditemukan. Hal ini salah satunya berasal dari berkembangnya pola patriarki yang telah ada sejak lama diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia yang menyebabkan gerakan perempuan turut hadir dan masif bersuara. Feminisme salah satunya.
Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan dalam selebrasi International Womend Day di Pontianak menjelaskan tentang perspektifnya melalui gerakan perempua ini. Ia menyatakan bahwa feminisme banyak ditolak pada setiap negara karena punya konteksnya masing-masing, di Indonesia menjadi jelas karena dimasa orde baru kata feminisme dianggap sebagai sebuah istilah yang menunjukkan ada kelompok yang bernilai dan bersumber bukan dari Indonesia itu sendiri. Ini sudah ada sejak zaman Orde Lama, karenanya zaman Orde Lama pada masa presiden Soekarno pernah ada kampanye besar-besaran tentang menolak hal yang bersifat barat.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa tetapi sebetulnya dari aspek pemikiran feminisme tidak pernah diperkenalkan dengan utuh sehingga ketika dijadikan sebagai stigma oleh negara dan juga oleh masyarakat terlalu sedikit ruang untuk mempelajarinya.
Feminisme juga pada satu titik banyak mempertanyakan hal-hal yang sifatnya sangat pribadi misalnya relasi antara laki-laki dan perempuan didalam unit keluar atau unit perkawinan sehingga dianggap merusak tatanan yang sudah status quo. Karenanya ia menjadi sebuah pemikiran yang dianggap akan menghancurkan pondasi-pondasi yang seharusnya dibiarkan saja. Tetapi sekarang banyak juga yang membayangkan jika kata femisme sendiri tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana pengalaman bukan saja oleh perempuan tapi juga laki-laki ataupun gender lainnya dalam kehidupannya sebagai akibat dari tata masyarakat yang patriarkis.
Baca Juga: Beauty Privilege, Media dan Insecurity
Andy juga menuturkan bahwa seiring dengan berkembangnya zaman dan waktu, gerakan dan keterlibatan perempuan dulu dan kini tentu mengalami perkembangan pula.
“Kalau kita lihat misalnya dari gender gap, kondisi-kondisi yang dikuantisir untuk melihat perkembangan perempuan dan laki-laki yang biasanya dilihat dari lama sekolah, jurang pendapatan dan lainnya tentu ada banyak kemajuan dibandingkan misalnya dua puluh tahun lalu,”
“Tapi disatu titik kita juga berharap kemajuannya semakin cepat dan jejak untuk memastikan kesamaan dan kesetraan ini seharusnya dapat dipenuhi melalui kebijakan-kebijakan yang ada. Sayangnya, kebijakan-kebijakan yang deskriminatif juga tetap ada sementara kebijakan yang kondusif bisa jadi juga tidak diimplementasikan dengan baik,” jelasnya.
Kuota Perempuan dan Ruang Progres

Salah satu bentuk keterlibatan perempuan dalam ruang publik saat ini diimplementasikan oleh diberikannya 30 persen kuota dalam parpol. Walaupun sebaiknya tidak mengikat secara kuantitas, namun menurut Andy ini menunjukan adanya progres bagi perempuan.
“Kuota 30 persen dalam kepemimpinan parta politik dan kandidat pencalonan untuk ikut dalam pemilihan umum bagi perempuan bagi partai-partai, sementara hasilya sendiri tidak diikat dalam wajib kuota 30 persen. Kuota ini tetap dibutuhkan untuk memberikan kepastian bahwa ada progress atau kemajuan yang dapat diperoleh, karena setidaknya orang bisa melihat ada target yang harusnya juga berlaku dilembaga-lembaga publik yang lain,” bebernya.
Menurutnya pula, jika diperhatikan sebenarnya pada lembaga publik banyak juga yang perempuannya sedikit. Dapat diambil contoh misalnya Ombudsman sekarang tidak ada komisioner yang perempuan dilingkup nasional, ataupun misal Komnas Ham yangmana dari tujuh komisioner hanya ada satu keterwakilan perempuan. Jadi soal keterlibatan perempuan ini masih menjadi pekerjaan rumah yang besar di Indonesia.
“Menurut saya itu masih menjadi isu tren yang perlu hadir untuk memperjuangkan perempuan mendapatkan ruang yang lebih besar,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, kehadiran perempuan didalam lembaga-lembaga publik itu akan menginspirasi banyak perempuan dikehidupannya yang lain. Jika dilihat misal dari angka ASN, perempuan sebenarnya banyak seperti laki-laki. Kalau dilihat dari data nasionalnya perempuan dengan pendidikan yang tinggi sebagai ASN itu lebih banyak daripada laki-laki, tapi kalau dilihat dari eselogis aslinya lebih banyak laki-laki daripada perempuan yang berada pada posisi kunci untuk penentuan kebijakan.
Biasanya, perempuan akan banyak dikementerian-kementerian yang tipikal pekerjaannya perempuan misalnya Pemberdayaan Perempuan dan Kementerian Sosial. Tapi kalau kementerian yang dianggap lebih maskulin seperti Kementerian Ketahanan, Kementerian Hukum dan HAM jumlah perempuan yang diposisi lapis atas lebih sedikit.
Ditanya soal bahwa pemerintah sendiri yang menjadikan gender gap dan pembatasan antara laki-laki dan perempuan, Andy tutur memberikan tanggapannya.
“Pada satu titik pemerintahan adalah cerminan masyarakatnya dan kebanyakan jika dilihat perubahan yang signifikan dari pemerintahan jika ada gerakan dari masyarakat sipilnya. Jadi jika ada gerakan yang belum kuat maka akan sulit kita melihat ia berubah. Tetapi kita berharap bahwa pemerintah dapat menjadi role modelnya,” harapnya.
Perempuan, Manusia Nomor Dua?
Perihal anggapan bahwa perempuan kerap diposisikan sebagai kelompok nomor dua dalam masyarakat, menurut Andy sampai sekarang, memang masih banyak masyarakat yang berpendapat seperti itu. Meskipun dibanyak keluarga-keluarga sudah memperkenalkan pola asuh yang setara. Jadi itu bisa terlihat dari bagaimana penempatan isu-isu perempuan meskipun ada kata mainstreaming gender tidak berarti itu menjadi paradigma atau perspektif yang secara aplikatif dilakukan.
Terakhir, Ketua Komnas Perempuan ini juga berharap perempuan dapat maju dan merepresentasikan gendernya diruang publik. Selain itu, ia juga mendukung kelompok marginal agar maju dan dapat bersuara dan memposisikan diri sebagai pemimpin.
“Tentu kita punya harapan untuk bisa lebih baik. Disaat ini kita bisa semakin melihat bahwa masyarakat kita juga semakin sadar bahwa kapasitas laki-laki dan perempuan sebetulnya adalah sama dan nilai kepemimpinan kemudian tidak lagi menjadi tokenisme baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan,”.
“Karena itu saya juga berharap bahwa isu jenis kelamin dan gendernya kita juga harus memperhatikan interseksionalitas yang lain dari strata sosial yang dimiliki. Saya tentunya sungguh berharap bahwa semakin banyak kelompok yang marjinal maju sebagai pemimpin. Bukan hanya perempuan saja tapi representasinya lebih pada kelompok-kelompok yang selama ini menduduki starata sosial yang lebih sedikit,” pungkasnya.
Penulis: Rio Pratama