Oleh: Babtista Varani
Indonesia merupakan negara yang majemuk dengan falsafah bhinneka tunggal ika yakni berbeda-beda tapi tetap satu jua. Berbagai macam suku bangsa dan agama ada di dalamnya. Tentunya ini menjadi anugrah dari Tuhan yang patut disyukuri dan dijaga.
Keberagaman ini merupakan sebuah potensi sekaligus tantangan. Keberagaman itu haruslah dikelola dengan baik, jika tidak maka akan menimbulkan perpecahan. Salah satu cara mengelolanya adalah dengan mendorong masyarakat untuk tidak berpikir primodialistik.
Menurut Robuskha dan Shepsle, primodialistik adalah sikap loyalitas yang berlebihan terhadap suatu budaya subnasional seperti suku bangsa, agama, ras, kedaerahan dan keluarga.
Seseorang yang berpikir primordialistik akan cenderung mengabiskan waktu dengan lingkungan yang homogen. Sikap ini akan mempengaruhi seorang individual dalam hubungan sosial. Ia akan canggung jika bertemu dengan orang yang berbeda bahkan memilih untuk menjauh.
Padahal, pengalaman untuk bersama dalam keragaman mengajarkan kita untuk menerima perbedaan orang lain secara utuh. Orang yang tidak punya pengalaman untuk beragam akan kesulitan memahami tentang arti toleransi, sangat memungkinkan untuk bertindak intoleran. Sikap intoleran ini yang bisa nantinya memecah belah persatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Paska reformasi, Indonesia dihadapkan oleh berbagai macam peristiwa intoleransi mulai dari pelarangan tempat ibadah, pemaksaan menggunakan busana nuansa keagamaan, pelarangan kelompok agama yang berbeda, pelarangan diluar 6 agama mainstream, dan lainnya.
Bak jamur di musim hujan, seperti itu juga tumbuh suburnya kebijakan yang diskriminatif seperti SKB 3 menteri tentang pelarangan Ahmadiyah, SKB 3 menteri tentang aturan tempat ibadah, perda wajib busana keagamaan di lingkungan pemerintahan ataupun pendidikan dan sebagainya.
Baca Juga: Resmikan Monumen Moderasi Beragama, Perguruan Tinggi Harus Jadi Agen Perdamaian
Di tambah lagi setiap tahun politik, para politisi sering menjadikan isu suku, ras dan agama sebagai cara untuk mendulang suara dalam waktu cepat. Pada masa pilpres, pileg, dan pilkada hampir setiap hari berita hoax dan ujaran kebencian antar agama, antar suku dan ras berseliweran dimana-mana seolah “Bhinneka Tunggal Ika” sudah tak ada artinya dan hanya menjadi sebuah kalimat pemanis semboyan bangsa. Parahnya, perpecahan diantara masyarakat tidak sembuh meskipun tahun politik usai. Maka dari itu, merajut kembali perdamaian di tengah maraknya isu-isu intoleransi bukanlah hal yang mudah.
Apalagi sejak pandemi Covid-19 dan diterapkannya pembatasan sosial. Ruang – ruang perjumpaan semakin minim. Komunikasi seringkali dilakukan via daring. Media digital menjadi kebutuhan utama untuk berkomunikasi, namun persoalan baru muncul, banyak pemuda yang lebih memilih menyibukan diri untuk berselancar di dunia maya daripada harus bertegur sapa dan berbaur dengan masyarakat sekitar.
Hal ini membuat para generasi milenial dan gen Z menjadi jauh individualis sehingga ketika ada berita intoleransi yang terjadi, mereka cenderung abai dan tak acuh selama hal itu tak terjadi pada diri/keluarga mereka sendiri. Parahnya tidak sedikit dari mereka yang terpengaruh untuk menjadi intoleran karena berita intoleransi yang dibaca.
Padahal, pemuda yang merupakan “Agent Of Change” mestinya menjadi penggerak untuk merajut kembali perdamaian dalam kebhinnekaan. Meskipun tak mudah, tapi dapat diwujudkan jika kita mau menyatukan tekat untuk membangun persatuan dan kesatuan.
Bertindak nyata meskipun kecil, karena semua gerakan besar dimulai dari langkah kecil yang konsisten. Salah satunya adalah terlibat dalam gerakan lintas iman seperti Pelita Padang.
Babtista Varani, Peserta Sekolah Kepemimpinan Pemuda Lintas Agama Angkatan Pertama