Kabar Damai | Jumat, 30 Juli 2021
Paris | kabardamai.id | Aktivis Hak Asasi Manusia Maria De Cartena mengatakan pengesahan Undang-Undang (UU) kontroversial baru di Prancis tentang penghormatan terhadap prinsip republik dinilai melegalkan Islamofobia di Prancis.
“Dengan disahkannya undang-undang tersebut, Islamofobia dilembagakan dan disahkan,” kata De Cartena yang merupakan anggota gerakan Koordinasi Contre la Loi Separatisme (Koordinasi Menentang Hukum Separatisme), dikutip dari ihram.co.id.
“Alasannya sangat sederhana. Ketakutan pemerintah terhadap Muslim dan keinginannya untuk mengintimidasi mereka,” tambahnya.
Melansir laman ihram.co.id, selain dinilai merendahkan dan membatasi para Muslim, UU anti-separatisme juga dilihat sebagai pengulangan Code de l’indigenat atau kode asli yang digunakan Kekaisaran Prancis pada koloninya. Saat itu, Muslim dijaga dalam kegiatan sosial dan budaya, kegiatan ibadah, dan menghalangi akses ke banyak hal.
Disahkan pada Jumat pecan lalu, UU anti-separatisme membagi masyarakat Prancis menjadi dua kelas. Yakni, kelas pertama dapat memperoleh manfaat dari semua hak konstitusional mereka dan kelas dua tidak bisa mendapat manfaat sama sekali.
Baca Juga: Prancis Akan Legalkan RUU Bayi Tabung untuk Lesbian Setelah Debat Sengit 2 tahun
Menyoroti bahwa undang-undang tersebut juga melanggar prinsip sekularisme, De Cartena mengatakan alih-alih memperkuat prinsip republik, undang-undang tersebut justru menghilangkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Dilansir Anadolu Agency, Kamis (29/7), banyak pihak yang mengkritik UU anti-separatisme Prancis karena diduga menargetkan komunitas Muslim Prancis, terbesar di Eropa dan memberlakukan pembatasan pada banyak aspek kehidupan.
Undang-undang mengizinkan pejabat bisa campur tangan dalam kegiatan masjid dan asosiasi yang bertanggung jawab atas administrasi mereka serta mengendalikan keuangan asosiasi dan organisasi non-pemerintah milik Muslim.
Ini juga membatasi pilihan pendidikan Muslim dengan membuat sekolah rumah dari pihak berwenang.Berdasarkan undang-undang, pasien dilarang memilih dokter mereka berdasarkan jenis kelamin karena alasan agama atau lainnya dan pendidikan secularisme diwajibkan bagi semua pegawai negeri.
Prancis telah dikritik oleh organisasi internasional dan organisasi non-pemerintah, terutama PBB karena menargetkan dan meminggirkan umat Islam dalam undang-undang ini. Sejak diumumkan sebagai RUU, serangan terhadap masjid termasuk pembakaran telah meningkat di negara itu.
Dinilai Fokus pada Islam dan Langgar Kebebasan Beragama
Sebelumnya, Majelis Nasional Prancis pada 22 Juli 2021 telah mengesahkan rancangan undang-undang antiseparatisme yang dirancang untuk memerangi Islam radikal. Parlemen Prancis mengesahkan undang-undang (UU) yang dinilai kontroversial itu, meskipun ada berbagai kritik terhadapnya.
Pemerintah Prancis berpendapat UU itu diperlukan untuk mendukung sistem sekuler Prancis. Akan tetapi, para kritikus menilai UU itu melanggar kebebasan beragama.
Profesor Ilmu Politik di San Diego State University Ahmet Kuru yang dikutip republika.co.id, mengatakan isi dari undang-undang tersebut dimaksudkan dan dirancang untuk memberi wewenang pemerintah dengan mengorbankan kebebasan beragama tertentu. Meskipun bahasa dalam RUU tersebut sangat netral dan tidak mengacu pada Islam atau Islam politik, namun Kuru menilai konteks politik dan prosesnya sangat berfokus pada Islam.
Bagi Kuru, pengkhususan Muslim diperjelas oleh Presiden Prancis Macron selama pidatonya pada Oktober 2020 tentang Islam. Ketika itu Macron mencoba menarik pemilih sayap kanan yang akan memilih partai sayap kanan Marine Le Pen.
Kuru menegaskan, ia hanya ingin melihat pemerintah Prancis mencapai keseimbangan yang tepat dengan umat Muslim yang kebanyakan berasal dari bekas jajahan Prancis dan keturunan mereka.
“Ya, harus ada tindakan pencegahan terhadap terorisme oleh Muslim, tetapi harus ada yang menjadi tindakan pencegahan terhadap diskriminasi, rasisme, penjajahan dan warisannya,” kata Kuru, dilansir di France24, Rabu (28/7).
Undang-undang yang disebut ‘Undang-Undang Penguatan Penghormatan Prinsip-Prinsip Republik’ itu disetujui Majelis Nasional atau majelis rendah parlemen dengan selisih 49 suara berbanding 19 dengan lima abstain. Undang-undang tersebut meraih dukungan dari anggota parlemen di jajaran Presiden Prancis Emmanuel Macron serta partai-partai sentris lainnya.
Pengalaman Pilu Seorang Muslimah
Presiden Prancis Emmanuel Macron memaparkan tujuan di balik adanya Undang-Undang (UU) Anti-Separatisme baru yang kontroversial pada Oktober 2020 lalu. Pemerintah mengklaim UU tersebut dirancang untuk mengatasi bahaya separatisme Islam.
Beberapa pihak menyuarakan keprihatinan serius karena hal tersebut dapat menghambat kebebasan berekspresi dan meningkatkan diskriminasi. Menurut para kritikus, UU baru akan memengaruhi terhadap pembangunan masjid dan memperluas larangan Muslimah mengenakan jilbab di publik.
Pasca disahkannya UU tersebut pada Jumat pecan lalu, Muslim di Prancis sudah merasakan efeknya. Berikut pengalaman tiga wanita Muslim Prancis tentang Islamofobia dan ketakutan mereka di masa depan.
Aisyah
Ibu lima anak ini dibesarkan di Mantes-la-Jolie, lingkungan kelas pekerja di luar Paris dan sedang mencari pekerjaan. Pada 1994 ketika dia berusia 14 tahun, sebuah dekrit pemerintah menyarankan sekolah untuk melarang pemakaian simbol agama yang mencolok.
“Saya adalah seorang siswa teladan sampai pada titik saya menolak untuk melepas jilbab saya. Saya ingat banyak pihak yang mencoba mengintimidasi saya,” kata Aisyah.
Aisyah mengaku dipaksa datang ke sekolah tapi dilarang mengikuti pelajaran. Selain itu, dia juga tidak diizinkan ke taman bermain dan bergaul ke sesama siswa lain. Melihat situasi ini, komunitas Muslim lokal menyuruhnya untuk melepas jilbab sementara tapi dia menolak dengan tegas.
Aisyah mengaku larangan jilbab membuat dia berada dalam kondisi sulit terutama dalam hal pendidikan. Bagi dia, aturan itu merusak identitasnya dan agama Islam.
“Ini menghancurkan kepercayaan diri saya. Saya kehilangan diri saya dan menikah dalam usia muda. Suami saya bersikeras saya memakai cadar tapi saya menolak. Kami bercerai ketika saya berusia 20 tahun,” ujar dia.
Adanya UU Anti-Separatisme membuat Aisyah takut akan ada wanita Muslim lain yang mengalami hal serupa seperti dirinya. Kendati disebut untuk melindungi sekularisme, UU ini merupakan pelanggaran besar.
“Saya percaya akan ada kejadian buruk datang. UU ini melegitimasi perilaku yang lebih buruk karena membenarkan narasi yang mendasari bahwa kita (umat Islam) adalah masalah,” tambahnya. [ihram/republika]
Editor: Ahmad Nurcholish