Kabar Damai | Rabu, 09 Maret 2022
Jakarta I Kabardamai.id I Menikah beda agama masih menjadi pro dan kontra dikalangan masyarakat. Tidak banyak, para pelakunya mendapatkan cibiran dan bahkan penolakan baik dari keluarga, teman pergaulan hingga masyarakat sosial. Walaupun penuh dengan tantangan, nyatanya masih ada kelompok baik yang turut mengedepankan hal ini sehingga dapat dicari jalan keluarnya, Percik misalnya.
Tri Waskitoadi, staf Percik Bidang Isu Conflict Prevention menjelaskan tentang upaya Percik dalam upaya edukasi, konselor hingga mencari jalan keluar dari masalah yang ada dari permasalahan diatas.
Melalui talkshow di Radio Katolikana, Tri mengungkapkan bahwa Percik sendiri dari sejarahnya sudah memberikan perhatian pada isu kebebasan dan beragama serta pencegahan konflik khususnya antar agama. Percik juga melihat potensi konflik yang muncul dari nikah beda agama cukup besar karena dianggap bahwa ini menjadi sarana untuk pindah agama, seperti biasa disebut dengan Kristenisasi, Islamisasi dan lain sebagainya.
Dalam rangka mencari penyelesaian dari masalah, Percik turut menggandeng pihak-pikak untuk rembug bersama.
“Tantangannya besar karena ini masih sensitive dalam masyarakat dan banyak pro serta kontra, kami mencari jalan keluar dengan membangun atau menaruh persoalan ini dengan menggandeng semua pihak, membangun civil society dalam menyelesaikan tantangan yang ada,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa sebetulnya Percik menjadi teman bagi mereka untuk menggumuli persoalan yang dihadapi, ini karena pernikahan pernikahan beda agama bisa dibilang tidak ideal dalam konsep masyarakat umum, namun dengan adanya keinginan pribadi dari keluarga dan upaya ingin mendapatkan izin untuk memilih, Percik menjadi teman dalam mendapatkan jalan yang dapat ditempuh.
“Biasanya disana ada pergumulan dan tentu harus ada keterbukaan atas apa yang mereka hadapi sehingga dapat dicari alternative solusi dari permaslahan yang ada,” bebernya.
Baca Juga: Pandemi Berlanjut, Nikah Virtual Menjadi Tren Baru
Ditanya soal tantangan yang dihadapi oleh para pelaku nikah beda agama, Tri mengungkapkan bahwa penerimaan sosial adalah tantangan yang cukup besar.
Ia mengayakan, sebetulnya dilapangan lebih banyak diharapi persoalan sosial. Dalam persoalan regulasi adalah dampakk dari dinamika sosial didaerah dan tradisi agama. Biasanya juga dari pejabat yang seringkali berusaha untuk menghambat. Juga perihal penolakan dikeluarga, komunitas keagamaan dan juga lingkungan pergaulan, lingkungan kerja dan sebagainya.
Walaupun demikian, ia tidak menampik bahwa regulasi dan pencatatan nikah beda agama di Salatiga dapat dilakukan.
“Yang kami hadapi di Salatiga tidak ada persoalan dengan regulasi karena disini sudah terbuka sehingga pernikahan beda agama bisa dicatatkan, lebih banyak di sosial,” katanya.
Dalam proses mediator dan penampingan, Tri menyatakan berbagai hal ditanyakan oleh para pasangan agar dapat melangsungkan pernikahan. Biasanya mereka bertanya, dalam menikah beda agama apakah dapat dilakukan, juga bagaimana mengatasi agar orang tua memberi restu, juga biasa yang ditanyakan apakah sah pernikahan beda agama ini, dapat dicatatkan, mendapatkan akta pernikahan atau tidak dan lain sebagainya yang sering ditanyakan.
“Dalam mendampingi mereka, kami tidak sendiri namun juga melibatkan tokoh agama yang punya perhatian dalam pernikahan beda agama,” jelasnya.
Terakhir, ia mengungkapkan bahwa agama juga negara punya tanggung jawab menjamin kebebasan beragama bagi setiap individu, jika ada pejabat yang memaksakan menikah harus seagama tentu itu bukan menjadi identitas agama, justru pemerintah harus menjadi fasilitas dari permasalahan yang ada didalamnya. Sehingga jika ingin ada yang menikah beda agama tentu harus difasilitasi.
Penulis: Rio Pratama