Kabar Damai | Minggu, 17 Oktober 2021
Jakarta | kabardamai.id | Merujuk pada hasil riset yang dikelurkan oleh Institute For Economic And Peace, Indonesia termasuk negara yang tidak cukup damai, berada pada urutan 47 dari 163 negara yang ada di dunia, tahun lalu berada pada urutan 42. Aksi demo massal, terorisme, kriminalitas, dan ketidak stabilan politik yang terjadi di Indonesia menjadi indikator Indonesia tidak cukup damai.
Merespon hasil riset tersebut, Achmad Nucholis membenarkan dan sepakat Indonesia belum cukup damai dalam sesi “Mengapa Indonesia Tidak Cukup Damai” di kanal Youtube Katolikana pada 13 Oktober lalu. Banyaknya terjadi kasus intoleransi, ekstrimisme bahkan terorisme yang terjadi menjadi indikator Indonesia tidak cukup damai sebagai negara kesatuan.
“saya membenarkan riset tersebut, jika kita bercermin pada kasus intoleransi yang terjadi hingga hari ini”, jelasnya.
Dalam perspektif damai negatif dan positif, Johan Galtung, sebagai tokoh sosiolog yang mencetuskan studi perdamaian pertama kali. Damai positif menunjukan situasi keadilan sosial dicapai dengan nihilnya kekerasabn secara struktural dan kultural dalam masyarakat. Sedangkan damai negatif merujuk pada situasi yang damai, namun masih berpotensi terjadinya konflik diberbagai sektor. “Saya mengelompokkan Indonesia saat ini dalam kategori damai negatif, Ketika sebuah negara dalam keadaan damai tetapi masih ada potensi konflik ataupun perang,” jelas Nurcholis.
Ustad yang akrab disapa Cak Nur itu juga menyampaikan sudut pandangnya terkait indikasi Indonesia menjadi tidak cukup damai. Ia melihat jika demo itu sah dilakukan sebagai warga negara yang demokratis, namun jika demo dilakukan secara berjilid justru kehilangan spirit demokrasi dan merusak nilai demokrasi itu sendiri. “Demo massal itu sah-sah saja, tetapi jka dilakukan berjilid-jilid bukan demokrasi lagi, tetapi merusak demokrasi tersebut. Karena disitu ada semangat ingin dominasi, ingin menunjukan bahwa mereka paling benar”, Ungkap Cak Nur.
Baca juga : Nia Sjarifudin: Sunda Wiwitan Seperti Rumah Saya Sendiri
Meski demikian, Indonesia sebagai negara bangsa memiliki banyak tokoh perdamaian yang terus memberikan contoh merawat keutuhan negara, salah satunya yang selalu berada di garda terdepan adalah Gus Dur. “Bagi gusdur kebinekaan adalah sebuah keniscayaan, sunahtullah, menjadi kekuatan jika dikelola dengan baik, namun jika tidak bisa kita kelola dengan baik maka akan berpotensi berbagai persoalan diantaranya intoleransi itu”, Jelasnya.
Dalam penjelasannya, Cak Nur melanjutkan dengan 3 prinsip Gus Dur dalam mencapai perdamaian;
Pertama, kesetaraan, bahwa kita semua dengan latar belakang apapun baik itu agama, suku, ras sebagai warga bangsa memiliki hak kesetaraan. Oleh karenanya dominasi mayoritas terhadap minoritas mestinya tidak terjadi. Bahkan dalam pandangan Gus dur , diksi mayoritas dan minoritas tidak lagi menjadi penting jika kita mengacu pada konsep bernegara.
Kedua, prinsip menghargai dan menghormati (toleransi) dibutuhkan sebagai langkah menumbuhkan toleransi di tengah masyarakat yang majemuk, namun gusdur mengatakan toleransi saja tidak cukup.
Ketiga, Perlu adanya kerja sama antar umat beragama sebagai kunci dari toleransi serta adanya kemauan dan keterbukaan dalam bentuk kolaborasi dengan orang lain dalam hal ini kontek berbeda agama.
Cak Nur menambahkan, muara dari 3 prinsip ini adalah keutuhan Indonesia sebagai negara bangsa dalam upaya menumbuhkan rasa perdamaian. “Jika dilakukan dan diterapkan maka akan tercipta rasa aman dan selamat, itu menjadi prasyarat terwujudnya perdamaian selain keadilan yang sejahtera”, jelasnya.
Penulis : Amatul Noor