76 Tahun Merdeka: Kebebasan Beragama Belum Sepenuhnya Terwujud

Oleh Ahmad Nurcholish

Tanggal 17 Agustus 2021 ini kita merayakan Hari Ulang Tahun Repuiblik Indonesia yang ke-76. Usia ini tentu bukanlah masa yang pendek. Karenanya, sejumlah perkembangan dan kemajuan di beberapa bidang seperti ekonomi, pembangunan, social dan budaya sepanjang 76 tahun ini boleh dikatakan cukup menggembirakan.

Namun, tidak demikian dengan soal kemerdekaan atau kebebesan bagi umat beagama di Tanah Air. Bagi sebagian penganut agama seperti Sikh, Bahai, bahkan umat Syiah dan Ahmadiyah, hak-hak mereka untuk mendapatkan kebebasan dalam beribadah dan aktivitas keagamaan lainnya belum sepenuhnya mereka dapatkan.

Beberapa contoh terbaru adalah betapa masih sulitnya umat Sikh dan Bahai untuk bisa menyantumkan identitas agama/keyakinan mereka di Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka masing-masing. maka, mereka terpaksa menerima untuk ditulis dengan nama agama-agama yang ada. Konsekuensinya, jika mereka ketahuan menjalankan syariat agama yang tak sesuai atau bertentangan, maka bisa dituduh menistakan agama ternetu.

Yang masih hangat adalah penyegelan masjid Jemaar Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Sintah, Kalimantan Barat baru-baru ini. Masjid mereka pada 13 Agustus 2021 lalu ditutup oleh pemerintah Kabupaten Sintang. Alasannya: guna menjaga keamanan dan ketertiban situasi masyarakat yang kondusif dan harmonis. Maka, hak untuk beribadah bagi jemaat Ahmadiyah terlanggar alias tak dapat mereka dapatkan.

Baca Juga: Pemuda Lintas Agama Penjaga Kebinekaan Bangsa

Padahal, dalam konteks perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah itulah ada sejumlah instrument hukum HAM Internasional yang mengatur tentang hal ini.

Gagasan HAM, sebagaimana diuraikan dalam buku pedoman Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Hak Beragama atau Berkeyakinan (2015: 19 – 21),  dipandang sebagai titik temu yang paling relevan – hingga saat ini – untuk menyatukan pelbagai pandangan keagamaan dan doktrin di seluruh dunia, karena dengannya setiap entitas dan identitas diakui dan dilindungi secara setara, namun di sisi lain identitas keagamaan atau leyakinan itu tetap dapat mempertahankan karakteristik khususnya yang sejak awal berbeda-beda.

Pada sisi yang lain, gagasan HAM kebebasan beragama merupakan titik negosiasi tanpa henti yang terus dilakukan oleh omunitas internasional, dengan tetap membuka peluang kritik dan masukan dari setiap kelompok dan Negara.

Lantas, apa saja yang menjadi landasan normative HAM KBB yang telah dihasilkan oleh komunitas internasional? Ada banyak sekali. Tetapi dalam ulasan ini saya hanya menurunkan 3 instrumen utama yang dihasilkan oleh PBB atau pasca Perang Dunia II.

Pertama, Deklarasi Universal HAM 1948 (DUHAM). Ini merupakan instrument yang sangat kuat yang disepakati oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. DUHAM menjamin perlindungan ha katas kebebasan berkeyakinan dan beribadah, yang secara jelas tercantum dalam Pasal 18, dengan menyatakan:

“Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.”

Pasal 18 DUHAM tersebut, dalam buku pedoman (h. 20) mengandung tiga hal penting dalam perlindungan HAM KBB, yaitu: (1). Ia menjamin hak kebebasan berfikir, keyakinan dan agama, yang umumnya dideskripsikan sebagai forum internum atau ekspresi internal. Aspek ini merupakan kategori yang luas, meliputi hak untuk memeluk suatu agama atau tidak, termasuk pula percaya atau tidak percaya. Pada prinsipnya, ia juga mencakup kepercayaan (belief), yaitu kepercayaan non-agamis dan ateisme, seperti agnostik.

(2). Pasal 18 membahas tentang perubahan (konversi) dan penyebaran agama, termasuk pula di dalamnya tentang aktivitas pengajaran agama; (3). Pasal tersebut juga mengatur tentang forum eksternum, yaitu ekspresi atau manifestasi  keagamaan atau keyakinan, yang dalam batas-batas tertentu dapat menjadi subjek pembatasan (limitasi) oleh Negara selama hal itu sesuai dengan persyaratan yang telah diatur.

Kedua, Kovenan Hak Sipil dan Politik. Instrument terkait hal ini adalah Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Politic Rights/ICCPR). Kovenan ini ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966.  Terkait jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, Kovenan Sipil dan Politik in memberikan jaminan dalam Pasal 18:

Ayat (1):  Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

Ayat (2): Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

Ayat (3): Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Komite HAM PBB, sebuah badan HAM internasional yang bertugas untuk memantau pelaksanaan Kovenan Hak Sipol tersebut, menegaskan bahwa hak-hak yang menjamin dalam ketentuan pasal 18 tersebut di atas, harus dilindungi oleh Negara, terutama Negara-negara yang telah meratifikasi. Indonesian adalah Negara yang sudah meratifikasinya.

Hak tersebut merupakan suatu hak yang melekat pada individu dan tidak dapat dikurangi. Kovenan Hak Sipol mempertegas bahwa ha katas kebebasan beragama atau berkeyakinan merupakan hak yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apapun (Non-Derogable Rights), sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 4 Kovenan ini.

Instrument-instrumen tersebut juga telah diserap dalam konstitusi kita di Indonesia. misalnya tercantum dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya..,” dan pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Serta UU No. 39 tahun 1999 pasal 22 ayat (1), “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” dan ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.”

Landasan konstitusi yang terang-benderang itu nyatanya belum terimplementasi dengan baik di banyak tempat di Indonesia. Maka, menjadi PR besar bagi kita bahwa meski sudah 76 merdeka tapi kemerdekaan dalam beragama dan berkeyakinan belum sepenuhnya terwujud. Lantas sampai kapan?

 

Ahmad Nurcholish, Pemimpin Redaksi Kabar Damai, Deputi Direktur ICRP

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *